Kuliah Umum Ekolinguistik untuk Mahasiswa S-2 dan S-3 Linguistik FIB Unud
[caption id="attachment_2214" align="aligncenter" width="1280"] Kaprodi Doktor Linguistik Prof. Dr. Nengah Sudipa menyerahkan kenang-kenangan kepada dosen tamu Dr. Nuzwaty, M.Hum. (Foto-foto Ida Ayu Laksmita Sari)[/caption]
Prodi S2 dan S3 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud mengadakan kuliah umum "Ekolinguistik" dengan dosen tamu Dr. Nuzwaty, M.Hum. dari Universitas Islam Sumatera Utara Medan.
Kuliah umum yang dibuka Kaprodi S-3 Linguistik Prof. Dr. I Nengah Sudipa itu diikuti oleh mahasiswa S2 dan S3 Prodi Linguistik dari berbagai angkatan, berlangsung Kamis, 15 Juni 2017, di ruang Lab bersama Prodi S2/S3 linguistik FIB Universitas Udayana.
Prof. Sudipa mengapresiasi kehadiran Dr. Nuzwaty untuk berbagai mengenai ekolinguistik. Dia menekankan pentingnya pendekatan transdisipliner dan mendorong mahasiswa untuk terbuka dalam pendekatan ini.
"Cara berfikir lintas disiplin memberikan banyak keuntungan dalam menggali pengetahuan," ujar Prof. Sudipa.
Jarang Dibicarakan
Dalam kuliahnya, Dr. Nuzwaty menjelaskan bahwa ekolinguistik adalah kajian yang menyandingkan kajian bahasa dan ekologis. Kajian ekolinguistik di Indonesia masih jarang dibicarakan walaupun sebenarnya sejak tahun 1970 telah dipelopori oleh Einer Haugen.
"Ekolinguistik membahas banyak mengenai metafora, terutama metafora lingkungan," ujar Dr. Nuzwaty.
[caption id="attachment_2216" align="aligncenter" width="1280"] Dr. Nuzwaty (kiri) didampingi Prof. Dr. Nengah Sudipa saat memberikan kuliah umum.[/caption]Lebih jauh Dr. Nuzwaty menyampaikan bahwa dalam kajian ekolinguistik terdapat tiga parameter yang diadopsi dari parameter ekologi, yaitu parameter kesalingterhubungan (interrelationship), parameter keberagaman (diversity), dan parameter lingkungan (environment).
"Kesalingterhubungan bahasa dan kebudayaan dengan lingkungan alam merupakan suatu keadaan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya sepanjang sejarah kehidupan manusia," ujarnya.
Tridimensi Sosial Praksis
Selain ekolinguistik, muncul pula teori baru yang mendukung, yaitu tridimensi sosial praksis yang merupakan hubungan dialektikal tiga unsur yaitu dialektikal ideologis, dialektikal sosiologis, dan dialektikal biologis. Ketiga unsur ini tidak dapat dipisahkan ketika seorang peneliti meneliti sebuah bahasa.
"Tidak ada monologikal untuk penelitian ekolinguistik, ketiga komponen harus bersatu," jelas Dr. Nuzwaty.
Dosen linguistik Universitas Islam Sumatera Utara Medan ini memberikan contoh sebuah metafora dari Aceh, yaitu "asam sunti". "Asam sunti" ini berasal dari belimbing wuluh yang dikeringkan dan dijadikan bahan bumbu dasar masakan.
Ada ungkapan "Tidak akan ada masakan Aceh tanpa asam sunti". Kosakata "asam sunti" ini dipetasilangkan dari ranah sumbernya yaitu lingkungan, masuk ke kognitif masyarakat aceh, ke luar menjadi "asam sunti" yang ditujukan kepada seseorang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
"Dokter tianyan asam sunti kamo", ujar Dr. Nuzwaty memberikan contoh. Kalimat ini, katanya, secara harafiah berarti "Dokter Tia itu ‘asam sunti’ kami," ujarnya.
Kolaborasi Teori
Dr. Nuzwaty membuat kolaborasi teori, yaitu teori kognitif linguistik dikolaborasikan dengan parameter ekolinguistik dan tiga dimensi sosial praksis. Di dalam kognitif masyarakat tutur Aceh bahwa "asam sunti" sudah memfosil, tanpa "asam sunti" masakan Aceh tidak enak. Kaitan "asam sunti" dengan "dokter Tia" dimaksudkan "tanpa dokter Tia kami tidak akan sembuh".
Dimensi sosiologis hubungan dokter Tia dengan masyarakat di sana disimbolkan dari "asam sunti", dimensi biologis dilihat dari kebermanfaatan "asam sunti" yang membuat masakan enak. Dimensi ideologis yang terekam dalam kognitif masyarakat yang diekspresikan secara ungkapan verbal.
[caption id="attachment_2215" align="aligncenter" width="1239"] Sebagian dari peserta kuliah tamu berfoto bersama usai perkuliahan.[/caption]Pengalaman Inderawi
Pada hakikatnya metafora terbentuk dari pengalaman inderawi anggota masyarakat dan dari interelasi sifat-sifat alamiah dengan kejadian atau keadaan yang dialami ataupun diamati oleh masyarakat.
Menurut Dr. Nuzwaty, iInterelasi sifat alamiah dengan kejadian atau keadaan dimaksud adalah kondisi dan karakter biologis flora, fauna yang bertalian dengan ekologi di sekitar lingkungan alam yang seterusnya terekam secara verbal dalam kognitif masyarakat tutur melalui tatanan tiga dimensi sosial praktis menjadikan flora, fauna, non-flora, dan non-fauna sebagai ranah sumber dipetasilangkan melalui parameter ekolinguistik kepada manusia atau kondisi, perilaku, dan keadaan manusia sebagai ranah target.
"Pemetasilangan ini terjadi karena adanya kesamaan pada ciri-ciri ataupun karakteristik keduanya yang diperoleh secara empirik sebagai bukti empiris yang diamati dan dipahami oleh anggota masyarakat tutur dalam kehidupan sosial mereka," ujar Dr. Nuzwaty (Ida Ayu Laksmita Sari).
UDAYANA UNIVERSITY