FIB Unud Gelar Kuliah Umum Prof. Gert Oostindie "Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian perang pada sisi sejarah yang salah"
Serangkaian perayaan HUT Fakultas Ilmu Budaya ke-58 tahun 2016 ini, dilaksanakan kegiatan studium generale (kuliah umum) dengan dosen tamu dari Belanda. Kegiatan yang merupakan kerja sama antara FIB Unud, KITLV Jakarta, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia dilaksanakan Senin, 26 September 2016 di Aula FIB, Kampus FIB Jalan Nias, Denpasar.
Kuliah umum diberikan oleh Prof. Gert Oostindie, direktur KITLV Leiden sekaligus penulis buku Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian perang pada sisi sejarah yang salah (2016). Materi kuliah umumnya berasal dari buku yang ditulisnya. Berikut adalah ringkasannya.
Ringkasan materi Kuliah Umum:
Perang di Indonesia tetap saja menbangkitkan emosi yang tinggi pada generasi berikutnya di Belanda. Situasi tersebut tidak mengherankan. Saat itu Belanda mengerahkan 220.000 serdadunya untuk suatu perang yang tidak dimenangkan dan sesudahnya disebut ‘salah’. Dalam debat umum tentang operasi militer Belanda yang pernah paling besar, dibahas terutama tentang tindak-tindak kejahatan perang Belanda. Para veteran memperdengarkan banyak suara mereka dalam perdebatan ini. Itu masuk akal, mereka ada di sana waktu itu, mereka mengalami realita yang sebenarnya, mereka tahu apa yang dibicarakan.
Buku ini didasarkan atas pelbagai surat, buku harian, buku kenangan, dan memoar mereka. Apa yang terungkap tentang tindak kejahatan perang itu seringkali mengejutkan. Tetapi juga menyangkut tema-tema lain: Ketegangan antara misi Belanda dan realita di tempat sulit dikendalikan; sikap mengerti atau tidak mengerti tentang orang-orang Indonesia dan perjuangan mereka untuk merdeka; frustrasi-frustrasi terhadap pimpinan militer dan politik; ketakutan, rasa dendam dan malu; kebosanan dan seks; merasa asing di tanah Hindia dan juga di rumah sepulang mereka ke negeri Belanda; kemarahan atas tahun-tahun yang hilang dan rasa kurang dihargai. Dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 cerita-cerita para serdadu ini dikemukakan dalam konteks perang dekolonisasi yang lebih luas dan cara mengatasinya di Belanda.
Kemerdekaan Indonesia dimenangkan setelah perang dekolonisasi yang berdarah. Di Indonesia, sejarah tahun 1945-1949 diceritakan dari perspektif yang sama sekali berbeda daripada di Belanda. Paparan cerita yang dominan di Indonesia adalah tentang lahirnya Republik Indonesia sebagai buah perjuangan heroik sekelompok suku bangsa yang bersatu untuk kemerdekaan. Suatu perjuangan yang dipimpin oleh Sukarno dan juga oleh TNI. Di Belanda, paparan ceritanya di satu sisi tentang penderitaan orang-orang Eropa selama pendudukan Jepang (1942-1945) dan periode Bersiap (akhir 1945 - awal 1946), di sisi lainnya tentang usaha yang memakan waktu lama dan sia-sia untuk melakukan dekolonisasi sesuai dengan cara yang diinginkan Belanda. Kesamaan kedua paparan itu adalah kecenderungan untuk hanya berbicara tentang konflik dekolonisasi bilateral dan dengan demikian menyembunyikan kompleksitas Revolusi Indonesia, dengan semua konflik internalnya.
Buku Serdadu Belanda di Indonesia terutama didasarkan pada pengalaman dan kenangan para militer (kebanyakan wajib militer) yang bertugas di angkatan perang Belanda di Indonesia antara tahun 1945 dan 1950. Di dalam buku ini digunakan ‘dokumen-dokumen ego’ mereka: buku harian, surat, kesaksian, dan memoar.Dengan penerbitan buku ini perdebatan umum di Belanda –yang sebelumnya masih menghindari kata ‘perang’ dan memakai kata seperti ‘mempertahankan ketertiban’ dan ‘aksi polisional’ –kena intervensi.Sekarang ‘aksi polisional’ diganti dengan ‘perang dekolonisasi’. Buku ini merupakan bagian dari perdebatan yang dalam beberapa dasawarsa terakhir menjadi semakin kritis saja, tidak hanya dalam hal legitimasi aksi politik dan militer Belanda, tetapi juga tentang praktik aksi itu, dan khususnya dalam masalah kejahatan perang. Kesimpulan buku ini adalah bahwa tindakan-tindakan kejahatan tersebut merupakan unsur yang bersifat struktural dalam pelaksanaan perang kami.
Penting untuk membuka mata terhadap hal tersebut, lengkap dengan semua nuansa yang ada. Belanda senang menampilkan dirinya sebagai penjaga hak asasi manusia internasional, suatu usaha yang mulia. Namun, justru suatu Negara dengan sejarah kolonialnya yang berjangka panjang hanya bisa memainkan perannya secara meyakinkan, kalau Negara itu benar-benar berani secara terbuka berbicara tentang kegagalan sendiri yang pernah terjadisebelumnya untuk memenuhi standar moral yang tinggi. Dan sayangnya, hal itu juga berlaku untuk banyak peristiwa sejarah Belanda di Indonesia antara tahun 1945 dan 1949.
Tak terhindarkan dalam buku Serdadu Belanda di Indonesia ada banyak perhatian terhadap masalah kekerasan dan kejahatan perang.Tetapi juga ada tema-tema lain yang dibahas. Buku ini adalah buku dengan banyak ruang untuk nuansa, dengan memperhatikan kompleksitas dan kontradiksi dari masa itu. Buku ini tidak memiliki pesan moral, tetapi mengajak pembaca untuk memikirkan tentang politik dan moralitas.
Yang pasti, bahwa perhatian publik yang besar terhadap buku ini di Belanda mencerminkan adanya kemauan yang berkembang untuk membuka mata terhadap masa lalu tersebut.
Edisi Indonesia tidak terbit begitu saja. Apakah suka atau tidak, Indonesia dan Belanda telah berbagi sejarah selama beberapa abad. ‘Berbagi’ sejarah, sejarah ‘bersama’: sebutan yang ramah untuk sejarah kolonial, dan kata-kata itu kedengaran lebih indah daripada apa yang kebanyakan terjadi di masa lalu. Namun demikian: lebih dari tujuh puluh tahun setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, dengan besar hati diusulkan agar tidak mengungkit-ungkit masa lalu yang sarat beban itu dan justru sebaiknya bersama-sama melihat ke depan. Pada malam menjelang kunjungan kilatnya ke Belanda (April 2016), Presiden Joko Widodo juga mengatakan bahwa melihat ke depan adalah semboyan utamanya. Bagi beliau, penelitian tentang perang dekolonisasi 1945-1949 tidak memiliki prioritas. Demikianlah, reaksi beliau atas ungkapan Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders, yang beberapa minggu sebelumnya – pada waktu melakukan kunjungan kerja ke Indonesia – justru menganjurkan untuk mengadakan penyelidikan menyeluruh terhadap periode itu, termasuk juga penyelidikan terhadap pokok pembicaraan yang menyakitkan, yaitu: kejahatan perang Belanda.
Mungkin di Indonesia ada banyak orang yang berpendapat bahwa melihat ke depan lebih baik daripada menoleh ke belakang. Bukanlah peran atau maksud saya – sebagai sejarawan Belanda – untuk merumuskan agenda Indonesia untuk penelitian sejarah. Saya tidak bisa memprediksi apa arti edisi Indonesia ini. Kami berterimakasih kepada penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia atas inisiatifnya untuk menerbitkan terjemahan ini, dan kami berharap buku ini akan dibaca dan akan didiskusikan, termasuk juga pada unsur-unsur yang terasa kurang sesuai dengan wacana yang umum dalam perang di Indonesia. Harapannya buku ini akan dapat merangsang sejarawan Indonesia untuk melakukan penelitian lebih lanjut, dari perspektif mereka sendiri. Kami sangat yakin bahwa bersama-sama melihat kembali ke belakang dapat membantu kedua Negara kita untuk bersama-sama tetap terus melihat ke depan.(*)
Profil Ringkas
Gert Oostindie adalah Direktur Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV-KNAW) dan Guru Besar Sejarah pada Universitas Leiden. Setelah menerbitkan buku Postcolonial Netherlands (2011), Gert Oostindie menerbitkan buku dalam bahasa Belanda Soldaat in Indonesië (2015) yang banyak dapat pujian dari pers di Belanda. Buku Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 ini didasarkan atas penelitian yang luas dari KITLV dengan, khususnya, sumbangan yang berharga dari Ireen Hoogenboom dan Jonathan Verwey.
UDAYANA UNIVERSITY