Prodi Doktor Kajian Budaya FIB Unud Luncurkan dan Bedah Dua Buku

[caption width="1600" id="attachment_2051" align="aligncenter"] Prof. Bawa Atmaja dan Prof. Ardika dalam acara peluncuran dan bedah buku di prodi Kajian Budaya (foto Darma Putra).[/caption]

Prodi Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud menggelar acara peluncuran dan bedah buku, di Ruang Sukarno kampus FIB, Rabu, 26 April 2017. Peluncuran dan bedah buku dibuka oleh Dekan FIB, Prof. Dr. Sutjiati Beratha,M.A., dihadiri mahasiswa, dosen, dan alumni FIB.

Dua buku yang diluncurkan saat itu adalah Stratifikasi Sosial pada Masa Prasejarah di Bali (2017) karya Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. dkk. dan buku Kapita Selekta Kajian Budaya, Melacak Kembali Pemikiran Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus sebagai Pendiri Program Kajian Budaya Unud (2017) karya Prof. I Gede Widja. Kedua buku diterbitkan Udayana University Press.

Menurut Kaprodi S-3 Kajian Budaya, Prof. Dr. Ketut Ardhana,M.A. acara bedah buku ini merupakan forum penting untuk mengembangkan studi kajian budaya.

"Kita juga akan membuka diri untuk mencari masukan perkembangan studi Kajian Budaya ke UGM," ujar Prof. Ardhana.

Usaha pengembangan ini mendapat dukungan dari Dekan FIB Unud. "Kami sangat berterima kasih karena Dekan FIB sangat mendukung usaha-usaha ke arah pengembangan," ujar Prof. Ardhana.

Peningkatan Mutu

Dekan FIB Prof. Dr. Ni Luh Ketut Sutjiati Beratha, M.A. menyampaikan bahwa peluncuran dan bedah buku ini adalah momen penting utuk peningkatan mutu pendidikan FIB, khususnya Prodi Kajian Budaya untuk S-2 dan S-3.

"Ini penting sekali karena mutu dan kualitas publikasi penting sekali dalam persaingan di era global," ujar Prof. Sutji.

[caption width="1072" id="attachment_2056" align="aligncenter"] Dekan FIB Prof. Sutjiati Beratha menerima buku dari penulis Prof. Ardika.[/caption]

Acara peluncuran dan bedah buku ini juga penting bagi dosen dan mahasiswa untuk memiliki persepsi yang sama mengenai spirit dan arah Ilmu Kajian Budaya. Dalam sambutan pembukaannya, Prof. Sutji sempat menyampaikan intisari buku karya Prof. Ardika dkk dan buku Prof Gde Wija.

Mengenai perkembangan Kajian Budaya, Prof. Sutji mendorong Prodi Kajian Budaya untuk meninjau kurikulum agar lebih maju dan khas.

"Nanti perlu dilanjutkan dengan peninjauan kurikulum, untuk menegaskan perbedaan dan kekhasan Kajian Budaya Unud dibandingkan dengan studi serupa di tempat lain," ujarnya.

Kajian Budaya, tambah Prof. Sutji, bertolak dari ilmu bahasa, termasuk teori semiotik. Pembahasan berbagai simbol budaya memerlukan kajian dengan pendekatan semiotik. "Pemaknaan sebuah tanda bersifat dinamis," ujar Prof. Sutji, mengutip teori semiotik Sausurre yang dikembangkan oleh Derrida.

[caption width="1544" id="attachment_2053" align="aligncenter"] Peserta peluncuran dan bedah buku.[/caption]

Intisari Buku

Prof. Ardika memaparkan isi ringkas buku yang ditulisnya. Menurut Prof Ardika sudah sudah sejak zaman pra-sejarah masyarakat Bali memiliki stratifikasi sosial. Saat itu Bali Utara seperti Sembiran, Julah, Seririt sudah mengalami kontak dengan budaya luar seperti Cina dan India.

"Globalisasi bagi Bali bukan sesuatu yang asing karena sudah terjadi 2000 tahun yang lalu," ujar Prof. Ardika.

Prof. I Gede Widja juga memaparkan intisari bukunya untuk mengajak Kajian Budaya untuk memperjelas dan mengokohkan paradigma kajian budaya yang dirintis the founding father Kajian Budaya yaitu Prof. I Gusti Ngurah Bagus.

[caption width="1513" id="attachment_2052" align="aligncenter"] Dua buku yang diluncurkan dan dibedah.[/caption]

"Buku ini sebagai penghormatan untuk Prof. Ngurah Bagus sekaligus merupakan bentuk tanggung jawab untuk meneruskan rintisan beliau secara kritis," ujarnya.

Prof Widja mengutip paradigma BFM (bentuk fungsi makna) yang diperkenalkan Prof. Bagus sebagai pendekatan dalam kajian budaya di FIB Unud.

Selain memaparkan intisari bukunya, Prof. Widja juga berpamitan dari Kajian Budaya karena dalam umur sudah lanjut, umur 81, tidak lagi berminat aktif mengajar di kelas. "Saatnya saya mohon pamit tidak lagi ikut mengampu mata kuliah," katanya.

Meski demikian, kalau ada kegiatan keilmuwan, menurut Prof. Widja, dia bersedia ambil bagian.

[caption width="1501" id="attachment_2054" align="aligncenter"] Prof. I Gede Widja[/caption]

Penting Dibaca

Tampil sebagai pembedah buku Prof. Gede Widja adalah dosen Kajian Budaya sekaligus antropolog Undiksa Prof. Nengah Bawa Atmaja.

Menurut Prof Bawa Atmaja, buku Gede Widja ini kecil dan enak dibawa dan perlu dibaca.

"Dalam buku ini Prof Widja mendekonstruksi paradigma Kajian Budaya Prof Bagus dan menawarkan paradigma sendiri berdasarkan dekonstruksi dari paradigma Prof. Bagus," ujar Prof Bawa Atmaja.

Menurut Prof Bawa Atmaja, masalahnya terletak pada tidak ada karya atau buku dari Prof. Bagus yang didekonstruksi. Di Daftar Pustaka, misalnya, tidak tampak ada literatur Prof. Bagus.

Dalam kesenjangan itu, prof. bawa menambahkan, bahwa pemikiran yang didekonstruksi adalah pemikiran Prof. Bagus dari hasil kontak dan diskusi dengan Prof. Bagus.

"Mengingat bahwa paradigma yang dicetuskan Prof Bagus adalah hasil diskusi berdua, berarti Prof Widja sendiri berkontribusi dengan pardigma yang dianggap sebagai paradigma milik Ngurah Bagus," kata Prof. Bawa.

Kajian Budaya dan Antropologi

Prof. Bawa Atmaja mengkritisi paradigma bentuk fungsi makna (BFM) yang telah menjadi paradigma Kajian Budaya Unud.

Dia sepakat dengan Prof. Widja bahwa paradigma BFM ini lebih bertolak pada teori struktural dan fungsional sehingga hasil kajian budaya cenderung positivistik atau paling jauh interpretatif, sesuatu bertolak dengan spirit Kajian Budaya yang seharusnya berparadigma kritis.

"Tidak mengherankan dikatakan bahwa mahasiswa masuk ke Kajian Budaya tapi ke luarnya antropologi," ujar Prof Bawa Atmaja. Untuk itu, diperlukan usaha menyuntikkan roh atau sesuatu ke paradigma Kajian Budaya.

Pengertian ‘bentuk’ yang awalnya dianggap ‘fisik’ oleh Prof. Bagus, belakangan dipahami sebagai ‘teks’, objek Kajian  Budaya. Kajian terhadap ‘teks’ dilakukan untuk mencari fungsi dan makna.

"Dalam konteks ini, pikiran Ngurah Bagus tetap bisa dipakai dalam pengembangan denagn payung besarnya paradigma kritis," kata Prof. Bawa Atmaja. Hanay saja konsekuensinya, ontologis, epostemologi dan aksiologi harus berubah dan segala teori yang berkaitan dengannya.

[caption width="858" id="attachment_2057" align="aligncenter"] Peserta acara.[/caption]

Perlu Menulis

Prof. Bawa Atmaja menyampaikan bahwa Prof. Bagus begitu sibuk sehingga tidak sempat menuangkan pikirannya ke dalam buku yang monumental.

"Makanya, penting bagi kita untuk terus berkarya sehingga bsia dilacak oleh generasi berikutnya," uajrnya Prof Bawa Atmaja yang sudah menulis beberapa buku termasuk tentang ajeg Bali, tajen (sabung ayam), dan tentang joged bumbung Bali (dp/by).