Binar-Webinar dari Akademika Arkeologi Unud Diikuti Peserta Negara Tetangga
Mengusung
tema “Menjaga Harta Karun di Perbatasan Antarnegaraâ€, Binar-Webinar #5 yang
diselenggarakan oleh Keluarga Alumni Arkeologi (KALA) dan Warga Mahasiswa
Arkeologi (WARMA) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana pada 19 Juni 2020
sangat memikat banyak kalangan.
Webinar
ini menghadirkan dua narasumber yaitu Ati Rati Hidayah, S.S, M.A dari Balai
Arkeologi Bali dengan paparan berjudul “Harta Karun di Perbatasan
Indonesia-Timor Leste†dan Ulce Oktravia, S.S dari Balai Arkeologi Kalimantan
Selatan dengan paparan berjudul “Satu Budaya Dua Negara: Geokultural sebagai
Narasi Diplomasi Budaya†serta dimoderatori oleh Giri Purnomo.
Harta
Karun di Perbatasan
Paparan
awal disampaikan oleh Ulce sangat memikat tentang kesamaan geokultural
Kalimantan antara masyarakat Krayan - Indonesia dan Bario - Malaysia yang
berasal dari suku Lundayeh, Lengilu, Sa’ben, Kelabit, dan Lun Bawang.
Masyarakat tersebut memiliki budaya bertani dan menghasilkan budaya Megalitik
yang dapat ditemukan hingga saat ini. Kesamaan budaya dan tinggalan tersebut
dapat dijadikan alat diplomasi dua negara, paparnya. Narasi geokultural akan
memunculkan identitas bersama sehingga tidak memunculkan konflik walaupun
dipisahkan garis batas negara.
Ati
Rati juga memaparkan tentang kekayaan Cagar Budaya di wilayah Belu-NTT yang
berbatasan dengan Timor Leste. Harta karun budaya yang berhasil ditemukan
antara lain kampung adat dan bangunan megalitik, tinggalan kolonial, dan temuan
fosil stegodon di Cekungan Atambua.
Budaya
dan temuan tersebut sebagai modal kekuatan masyarakat untuk membangun Belu
dengan dukungan penuh pemerintah daerah akan semakin baik. Ati juga mendorong
masyarakat untuk memahami nilai yang sangat besar pada tinggalan arkeologi
tersebut sehingga tidak terjadi penjualan secara ilegal seperti beberapa tahun
silam.
Diskusi
peserta
Sesi
diskusi, peserta banyak melontarkan pertanyaan lewat media chatt, salah
satunya Melia Agustina Orllanda menanyakan tentang cara menghidupkan kembali
gereja kolonial yang dead monument. Ati menyarankan untuk mengkonservasi
dan merekonstruksi gereja tersebut sehingga kondisinya layak pakai sehingga
masyarakat bisa memanfaatkan kembali, jika tidak dimanfaatkan juga akan lebih
cepat rusak.
Peserta
lainnya, Juswardi Yakob Zein dari Aceh menanyakan tentang sistem penguburan
orang dahulu yang diletakkan di atas bukit dan ditutup batu, gua atau pohon.
Ulce menjelaskan bahwa perbedaan wadah kubur dan penempatan, secara konsep
dasar adalah sangat mirip. Ketika meninggal maka dikondisikan seperti dalam
lahir yaitu dikubur terlipat, baik dalam tempayan atau wadah kubur lainnya,
sedangkan wadah kuburnya tergantung jenis penguburannya setiap daerah.
Temuan
fosil selain di Flores, Sumba, dan Timor, misalnya di Bali atau Sumbawa juga
dipertanyakan oleh Ifan YP Suharyogi. Belum ada temuan fosil sejenis di Bali,
Lombok, dan Sumbawa kemungkinan karena terkubur gunung berapi atau minimnya
penelitian di wilayah tersebut, jawab Ati.
Gon
Sergius menanyakan tentang fungsi arca-arca megalitik yang diduga sebagai
pemujaan leluhur. Ati setuju dengan pendapat tersebut dan penempatan di atas
bukit juga menunjukkan kesakralan dan media pemujaannya.
Perlu
Dibangun Museum
Kristiawan
Dosen Arkeologi Unud menambahkan informasi tentang gereja yang telah mengalami
beberapa kali pemugaran dan menyarankan sebagai Historical House Museum.
Berbicara
tentang museum, Andi Syarifuddin menegaskan bahwa pada 2019 sudah diresmikan
Rumah Adat Matabesi di Belu sebagai museum yang berisi koleksi fosil dan karya
seni budaya lokal. Demikian juga Kresno Yulianto sebagai ahli permuseuman
menyarankan bahwa bangunan-bangunan yang telah ada dapat dijadikan historic
house yang menyampaikan tentang identitas, sebagai diplomasi yang sangat
strategis.
Pada
akhir webinar, Rochtri selaku hostnya mengucapkan terima kasih pendukung acara
yaitu Prodi Arkeologi FIB Unud, BPCB Bali, dan Balar Bali. Demikian juga
peserta yang telah bergabung dari berbagai daerah, termasuk juga dari negara
tetangga: Malaysia dan Australia serta guru-guru dari NTT yang berbatasan
dengan Timor Leste.
(Rochtri
Agung Bawono)
UDAYANA UNIVERSITY