Keluarga Alumni dan Civitas Akademika Arkeologi Unud Gelar Webinar Pengelolaan Museum

 

 

 Keluarga Alumni Arkeologi Unud (KALA-UNUD) bekerja sama dengan Mahasiswa Arkeologi (Warma) dan Prodi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Unud melaksanakan webinar bertema “Mengelola Museum, Menginformasikan Koleksi”.


Binar-Webinar #3 ini diselenggarakan 5 Juni 2020 menghadirkan narasumber yang sangat paham tentang permuseuman yaitu Muhammad Ichwan, S.S, M.A dari BPCB Jawa Timur dan Kristiawan, S.S, M.A selaku dosen di Prodi Arkeologi FIB UNUD yang dipandu Sang Moderator-Dewa Ayu Made Dwinita Devanthi.

 

Salah satu isu yang menarik dalam webinar itu adalah fakta bahwa menyampaikan informasi koleksi museum kepada masyarakat bukanlah hal yang mudah. Hal ini banyak dialami oleh berbagai museum pemerintah maupun swasta.

 


 

Manajemen informasi


Dalam sesi pertama, Ichwan menyampaikan presentasi “Manajemen Informasi Cagar Budaya”. Dalam presentasinya, dia menyampaikan tentang proses kajian untuk mendapatkan informasi melalui tahapan pengumpulan data, pengolahan, dan analisis. Manajemen informasi dilakukan untuk medapatkan informasi dan penentuan kebijakan, penyampaian publik hasil penelitian arkeologi dan pelestarian CB, serta sarana pendidikan dan hiburan.


“Eksistensi dan peran sebuah lembaga arkeologi dirasa penting ketika mampu memberikan informasi yang tepat melalui informasi kepada masyarakat,” katanya.

 

Berbagai metode, bentuk, dan media informasi telah banyak dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisinya baik secara manual ataupun memanfaatkan informasi teknologi terkini, termasuk juga media sosial yang beragam.

 


 

Hiperealitas dan Hipermedia


Tidak kalah menarik dengan apa yang disampaikan Kristiawan tentang “Hipermedia, Strategi Komunikasi Material Budaya di Era New Normal”.


Sebuah fakta disajikan bagaimana satu benda koleksi bisa menjadi sorotan beratus-ratus orang dalam ruang dan waktu yang sama tetapi Pandemi Covid19 telah membalikkan semua keadaan, tidak ada satupun museum yang dibuka untuk umum.


Kristiawan juga mengilustrasikan harga secangkir kopi di kedai Rp 5.000,00 menjadi Rp 88.235,00- ketika dinikmati di dekat Kathedral Squre, Central Florence Italy. Ketika kondisi normal, media telah menenggelamkan manusia dalam hiperrealitas pada kasus tersebut.


Dia mengutip Raj Patel dan Jason W Moor bahwa ada 7 unsur yang mampu mengubah dunia dan akan membentuk masa depan yaitu nature, money, work, care, food, energy dan life.


Perubahan itu terjadi pada saat ini ketika era Normal menuju New Normal. Perubahan itu juga tampak sejak dahulu ketika hypertext secara bertahap berubah menuju hypermedia.


Akhir penjelasannya menyinggung tentang material culture yang sama tetapi memiliki istilah yang berbeda sebagai dampak atas hipermedia, semuanya tidak menjadi masalah tetapi saling melengkapi.

 


 


Tanggapan Peserta


Prof. I Wayan Pastika menanyakan seberapa banyak informasi Cagar Budaya yang berkaitan dengan aksara atau bahasa yang pernah dilakukan, mengambil contoh aksara Jawa dan Bali yang berasal dari satu sumber yaitu Dewanagari.


 


 

Ichwan menanggapinya dengan menceritakan proses panjang bagaimana hubungan keduanya terpisah dan kembali bertemu ketika Raja Udayana menikahi Pramudyawardhani (Mahendradatta) hingga Jawa dan Bali kembali terpisah.


Pastika kembali menanyakan tentang Hiperealitas, bahwa realitas itu hanya representasi dari realitas yang ada pada sistem kognisi, sehingga hiperealitas itu cenderung bervariasi tergantung pada status sosial, budaya, dan sistem politik.


Kristiawan sependapat dengan Pastika, tetapi perlu dilihat dalam realita yang baru saat ini dan semuanya tidak menuju pada hiperealitas yang dominan, hanya salah satu pilihan.


Demikian juga kritikan dari D.P Arsa seorang EO di Denpasar yang mempersoalkan sulitnya meminjam koleksi pameran yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kepada lembaga-lembaga di daerah walaupun sudah melalui prosedur yang diminta, padahal tujuannya untuk menyampaikan informasi ke masyarakat.


Dia berharap kedepannya ada koordinasi lembaga dan kemudahan informasi. Masukan lain untuk pengelola museum atau pemangku kebijakan yaitu perlunya keterlibatan emosional pengunjung, ketika pameran juga perlu sinergi bersama antara museum, balar dan BPCB untuk menampilkan satu informasi.


Lewat fiture chatt juga banyak peserta yang menanyakan tentang pemanfaatan teknologi informasi dan media sosial jika perlu mempersiapkan konsultasi publik, salah satunya Ary Sulistyo dari Komunitas Jelajah Budaya (KJB) Jakarta.


Demikian juga Romi HS dari Gorontalo menyampaikan bahwa pengelolaan dan penyampaian informasi di museum daerah biasa saja, apakah perlu standar internasional, imbuhnya.


Pengetahuan dan SDM yang sangat minim menyebabkan kondisi tersebut sehingga perlu adanya adopsi dari museum yang berstandar internasional seperti Museum Nasional di Jakarta atau Museum Manusia Purba di Sangiran, Ichwan menanggapi.


Pada akhir webinar dibagikan buku sumbangan dari alumn-alumni dan Prodi Arkeologi FIB Unud bagi peserta yang beruntung (Rochtri Agung Bawono)