Kemajuan Teknologi Membuat Tradisi Lisan lebih Memikat di Era Global

[caption width="2048" id="attachment_1205" align="aligncenter"]sem 1 Pembicara dalam seminar, dari kiri : Ida Ayu Laksmita Sari, Ketut Jirnaya, IB Jelantik Sutanegara (moderator), dan Maria Matildis Banda (Foto Darma Putra)[/caption]

Tradisi lisan berkembang lebih baik dan memikat jika disajikan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi seperti media film, TV, audio visual. Demikian disampaikan Dr. Maria Matildis Banda dalam Seminar Seri Sastra dan Budaya di Fakultas Ilmu Budaya, Selasa, 30 Agustus 2016.

"Perkembangan menunjukkan anak-anak lebih senang menonton kisah dongeng jika disajikan dalam film," katanya sambil menayangkan fim kartun kisah dari tradisi lisan Sangkuriang dan Dayang Sumbi.

Seminar bulanan FIB ini dibuka panitia Dr. I Nyoman Wijaya, diikuti sekitar 50 peserta, kalangan dosen, mahasiswa, wartawan, dan budayawan.

Dalam seminar tampil tiga pembicara yaitu Dr. I Ketut Jirnaya (Program Studi Sastra Jawa Kuno), Ida Ayu Laksmita Sari,S.Hum,M.Hum. (Sastra Jepang), dan Dr. Maria Matildis Banda (Sastra Indonesia). Seminar dipandu oleh Dr. Ida Bagus Jelantik Sutanegara, dosen Program Studi Sastra Indonesia.

Kelisanan Kedua

Maria Matildis Banda dalam paper berjudul "Tradisi Lisan dalam Konteks Kelisanan Sekunder" berpendapat, Kelisanan sekunder (secondary orality) adalah sebuah konsep kelisanan yang dikemukakan oleh P. Walter Ong (1982) dalam menanggapi keberadaan percetakan (tradisi tulis), telepon, radio, televisi, dan berbagai jenis teknologi elektronik.

Mengutip berbagai literatur, Maria Matildis Banda menyampaikan, Kelisanan sekunder adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam dunia globalisasi. Globalisasi dipahami sebagai serangkaian proses  yang mengarah pada penyempitan atau tenggelamnya dunia, yaitu semakin meningkatnya kesalingterhubungan global dan pemahaman kita atasnya (Barker, 2009:295).

"Secara singkat dapat dijelaskan bahwa dalam era global, terjadi sebuah kondisi yang menjadikan ruang-ruang keluarga disesaki oleh berbagai identitas baru suguhan media elektronik seperti televisi dan handphone," ujar Maria, dosen sastra Indonesia FIB Unud yang sudah menulis beberapa novel.

[caption width="1280" id="attachment_1206" align="aligncenter"]swr Peserta seminar dari kalangan mahasiswa dan dosen.[/caption]

Perhalus Narasi Kekerasan

Dalam makalahnya berjudul, "Memperhalus Cerita Rakyat untuk Pembentukan Karakter: Kajian atas Narasi Kekerasan dalam Cerita Rakyat Bali dan Jepang", Ida Ayu Laksmita Sari menyampaikan bahwa cerita rakyat Bali yang ditargetkan untuk anak-anak banyak yang berisi narasi kekerasan, penyiksaan, dan kekejaman.

Dalam kisahnya, menurut dosen sastra Jepang FIB Unud ini, tokoh protagonis dan antagonis senantiasa terlibat dalam konflik yang klimaksnya berisi tindakan kekerasan seperti membunuh atau mencincang badan.

"Hal ini terasa kontradiktif dengan keinginan untuk menjadikan cerita rakyat itu sebagai kisah-kisah mulia untuk memperhalus karakter anak-anak," ujar Dayu Mita yang kini tengah menempuh program doktor di Prodi Linguistik (Konsentrasi Wacana Sastra) di Pascasarjana Unud.

Pendidikan Karakter

Sementara itu, I Ketut Jirnaya dalam makalah "Tradisi Lisan dan Proses Pelisanan Beberapa Cuplikan Cerita Bertemakan Gedene Kalahang Cerik  di Bali" berpendapat keberlangsungan tradisi lisan di Bali walaupun masyarakat telah melek huruf tetap saja berjalan terutama melalui satua (cerita/dongeng).

"Hal ini terjadi karena satua masih dirasakan berfungsi sebagai alat pendidikan karakter anak-anak maupun orang dewasa," ujar Jirnaya.

Lebih jauh, Jirnaya menyampaikan ilustrasi bahwa beberapa dongeng se-tema Gedene Kalahang Cerik (Si Besar Dikalahkan Si Kecil) sering dilisankan ketika ada momen yang tepat untuk menasehati anak-anak maupun orang dewasa bahwa, yang besar tidak selalu akan menang, tetapi banyak hal justru yang besar itu akan dikalahkan oleh yang kecil. Intinya, yang besar jangan sombong.

"Dongeng ini bagi si pencerita, banyak yang tidak mengetahui kelengkapan cerita maupun sumber cerita. Mungkin itu tidak penting, yang lebih penting sesungguhnya pengembangan cerita yang seanalogi dengan dongeng itu," cetusnya.

Diskusi Semarak

Banyak pesert mengajukan dalam sesi diskusi sehingga seminar berlangsung semarak. Sastrawan Arif B. Prasetyo, misalnya, menanyakan tentang kemungkinan kreatif mengaitkan tradisi lisan dengan seni lainnya seperti seni lukis dan pertunjukan.

Sehubungan dengan itu, peserta lain, Rochtri A. Bawono menanyakan apakah lukisan dalam goa-goa yang bercerita mengenai masyarakat masa lalu termasuk termasuk kelisanan sekunder?

Menanggapi persoalan tersebut, Maria Matildis Banda dan Laksmita Sari menyampaikan bahwa ada kaitan kreatif yang erat antara cerita dalam tradisi lisan dengan seni kreatif lainnya seperti yang terdapat dalam film dan komik.

"Di Jepang, komik atau animie dibuat berdasarkan dongeng-dongeng," ujar dosen Sastra Jepang yang sedang meneliti cerita rakyat Bali dan Jepang.