Mengupas Transformasi Ideologi Kesetiaan, Dosen Institut Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Meraih Gelar Doktor

Jumat, 18 Juli 2025 telah terlaksana Sidang Ujian Terbuka Program Studi Linguistik Program Doktor Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana di Ruang Ir. Soekarno, FIB Unud. Promovendus bernama, I Wayan Juliana, S.S., M.Hum., berhasil lulus dengan IPK 3.79 predikat “Dengan Pujian”. Promovendus merupakan lulusan ke-255 di Fakultas Ilmu Budaya dan lulusan ke-265 di Program Studi Linguistik Program Doktor, FIB Unud. Disertasi yang berhasil promovendus pertahankan berjudul "Wacana Satya Lintas Genre: Transformasi Ideologi Kesetiaan Kidung Jerum Kundangdia dalam Novel Jerum". Sidang Promosi Doktor dipimpin oleh ketua sidang, Prof. Dr. Drs. I Nyoman Suarka, M.Hum yang juga merupakan Promotor pada disertasi promovendus. 


Promotor didampingi oleh Ko Promotor I, Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., Ko Promotor II, Dr. Drs. I Wayan Suardiana, M.Hum. Tim penguji pada Promosi Doktor ini terdiri atas Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S., Dr. IG A.A. Mas Triadnyani, S.S., M.Hum., Dr. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum., Prof. Dr. Dra. Luh Putu Puspawati, M.Hum., dan Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum., yang merupakan penguji luar dari Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja. Penelitian promovendus berfokus pada alih wahana karya tradisional pada karya nasional, yaitu pada Kidung Jerum Kundangdia dalam Novel Jerum. Alih wahana sastra dari bentuk tradisional ke bentuk modern bukan semata praktik penyesuaian estetika, melainkan juga medan dialektika ideologi dan representasi. 


Proses alih wahana karya sastra tradisional yang mengandung nilai kearifan lokal pada karya sastra nasional menjadi upaya pelestarian nilai-nilai lokal tersebut. Salah satu perubahan yang terjadi ialah lakuna atau peniadaan ayah kundangdia dan adegan erotisme di novel Jerum. Promovendus menyatakan bahwa sebenarnya adegan-adegan tersebut berperan penting dalam karya sastra tradisional dan pada intisari karya itu sendiri, namun karena audiens yang Ida Ayu Oka Rusmini—penulis novel Jerum—berusaha gapai termasuk remaja berusia 15-17 tahun, maka beberapa adegan yang tidak seharusnya remaja baca memang ditiadakan. Transformasi kidung ke novel ini dilakukan melalui ekspansi narasi, konversi struktur, modifikasi peristiwa, dan lakuna (penghilangan unsur-unsur tertentu). Beberapa perubahan mencolok terjadi dalam bentuk penambahan tokoh, penyesuaian latar, dan pergeseran urutan peristiwa.


Temuan ideologis yang diperoleh terletak pada penempatan perempuan sebagai subjek yang dapat memilih dan memiliki kehendak bebas. Pada Kidung Jerum Kundangdia, otonomi perempuan masih berlandaskan parasnya, sementara pada Novel Jerum, perempuan dinilai berdasarkan pemikiran kritis dan perasaannya, mengindikasikan perempuan memiliki otonomi atas dirinya sendiri. Dalam proses mempertahankan disertasinya, promovendus juga menjelaskan bahwa Jerum di Novel Jerum mencintai Kundangdia murni karena dia merasa Kundangdia adalah orang yang tepat, ditekankan pula dengan fakta bahwa Jerum tidak pernah mencintai Liman Tarub yang menikah dengannya karena keputusan desa, bukan dirinya sendiri. Sejalan dengan penulis Ida Ayu Oka Rusmini yang merupakan pejuang gender, Jerum menunjukkan bahwa dia memiliki hak terhadap dirinya sendiri.


Temuan teoritisnya adalah penelitian ini memperkaya teori intertekstualitas Riffaterre dengan dimensi lakuna. Selain itu, teori representasi Hall digunakan untuk membaca bagaimana nilai satya direpresentasikan secara verbal, simbolik, dan naratif. Secara akademik, disertasi ini memberikan kontribusi pada kajian sastra Bali dan intertekstualitas. Penelitian ini juga menawarkan pendekatan baru terhadap ideologi satya yang kontekstual dan relevan dengan isu kontemporer seperti kesetaraan gender dan spiritualitas perempuan. Secara praktis, disertasi ini dapat menjadi rujukan dalam pengembangan karya sastra lintas genre dan penguatan nilai-nilai budaya lokal di tengah modernisasi.


Salah satu pertanyaan yang datang dari penguji ialah apa arti mesatya dalam Kidung Jerum Kundangdia. Menanggapi hal tersebut, promovendus menyatakan bahwa pada periode latar belakang karya sastra tersebut, istri harus memiliki kesetiaan yang tinggi pada suaminya. Mesatya merupakan tradisi yang melibatkan pembakaran diri seorang janda bangsawan di atas kremasi suaminya. Jerum membuktikan kesetiaan dan perasaannya terhadap Kundangdia dengan mempersiapkan diri secara keseluruhan ketika hendak menyongsong kematian untuk Kundangdia. Tragedi ini menunjukkan tradisi mesatya digambarkan sebagai pilihan dari sang perempuan untuk membuktikan kesetiaan dan cintanya pada sang laki-laki.


Promotor membuka sambutan dengan memuji bagaimana promovendus sangat sungguh-sungguh dalam menekuni sastra bali tradisional. Menurut beliau, disertasi promovendus merupakan representasi dari adanya karya masa lampau untuk pembaca masa kini. Proses resepsi ini memungkinkan karya-karya sastra senantiasa memiliki suara-suara baru di setiap periode. Kidung Jerum Kundangdia sendiri merupakan karya sastra melayu yang diserap oleh sastra melayu, sehingga menjelaskan nama jerum yang berasal dari bahasa jawa dengan arti berendam di air. Disertasi promovendus juga menemukan bahwa jalan mesatya tidak hanya dibunuh dengan membakar diri namun juga dengan terjun ke air (malabuh toya).