Menyelami Sejarah Pariwisata Bali, Program Studi Kajian Budaya Mengadakan Kuliah Tamu dengan Sejarawan dari Amerika

Program Studi Kajian Budaya FIB Unud selenggarakan Kuliah Tamu berjudul “The World Bank’s First Bali Tourism Project, 1969-1984”. Dosen tamu pada kuliah ini adalah Prof. Bradley Simpson, Sejarawan dan Profesor dari Universitas Connecticut, Amerika. Kuliah tamu dilaksanakan pada Jumat, 25 Juli 2025 dilakukan secara hybrid, di Ruang Prijono, FIB Unud dan juga secara daring melalui zoom meeting. Kegiatan diikuti sekitar 50 peserta, yang mana sebanyak 12 orang hadir secara langsung, sementara sisanya mengikuti secara daring. Audiens terdiri dari mahasiswa program doktor, dosen, alumni, serta pemerhati pariwisata dan kajian budaya dari berbagai institusi. Kuliah tamu dipandu oleh Prof. I Nyoman Darma Putra, Ph.D., Koordinator Program Studi Doktor Kajian Budaya, FIB Unud. Melalui kuliah ini, diharapkan para peserta dapat melihat pariwisata tidak hanya sebagai sektor ekonomi, tetapi juga sebagai ruang pertarungan wacana, kekuasaan, dan identitas budaya yang terus berlangsung hingga kini.


Kuliah dibuka secara resmi oleh Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt. Dalam sambutannya, Prof. Darma memperkenalkan Prof. Brad Simpson sebagai dosen tamu sekaligus sejarawan dari Amerika, yang tertarik pada sejarah pariwisata di Bali, terutama dari sudut pandang global. Beliau merupakan seorang akademisi yang produktif dengan reputasi internasional. Prof. Brad telah menulis sejumlah buku penting, antara lain The First Right: Self-Determination and the Transformation of International Order, 1941–2000, dan Economists with Guns: Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations, 1960–1968 (Stanford University Press, 2008). Lebih lanjut, Prof. Darma menjelaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir Prof. Brad fokus melakukan riset terkait sejarah penentuan nasib sendiri (self-determination) global periode 1941–1991 serta hubungan Amerika Serikat–Indonesia dari tahun 1965 hingga 1998.


Prof. Brad Simpson membuka materi dengan menjelaskan bahwa minatnya pada sejarah global pariwisata Indonesia, terutama Bali, mendorongnya untuk datang dan mulai meneliti sejak kira-kira 30 tahun lalu. Menurutnya, mengetahui sejarah pariwisata Bali serta bagaimana banyak pihak berusaha membentuk Bali sejak beberapa tahun ke belakang merupakan hal yang penting, pemahaman hal tersebut diharapkan dapat membantu melindungi Bali sendiri dan memastikan keuntungan yang didapatkan dari pariwisata jatuh ke tangan warga Bali. Lebih lanjut, beliau menyatakan argumennya bahwa pariwisata dijadikan strategi pengembangan ekonomi oleh pemerintah Indonesia, terutama semasa Presiden Soeharto masih menjabat. Contohnya, di tahun 1970 ketika Mantan Presiden Soeharto bertemu dengan Duta Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ia meminta bantuan PBB untuk mempromosikan pariwisata Indonesia agar turis-turis berdatangan dan pada ujungnya, menguntungkan bisnis yang Ia dan kroni-kroninya miliki. 


Namun, Indonesia sebagai bangsa yang membutuhkan bantuan dituntut untuk memberikan benefit lebih banyak bagi para investor yang pada akhirnya tidak dapat terpenuhi. Momen ini menjadi celah bagi World Bank atau Bank Dunia untuk masuk dan menawarkan pinjaman uang untuk Indonesia. Lanjutnya, pada tahun 1967, Kantor Perwakilan Bank Dunia pertama di Indonesia resmi dibangun. Pihak Bank Dunia sadar bahwa ada banyak kasus korupsi yang terjadi di bawah masa kepemimpinan Soeharto, sehingga sektor pariwisata yang merupakan sumber ekonomi baru di Indonesia diharapkan dapat berjalan tanpa dikorupsi sebanyak sektor lain. Dalam presentasinya, Prof. Brad Simpson memaparkan bahwa proyek pariwisata Bali yang didukung oleh Bank Dunia pada periode 1969–1984 merupakan salah satu contoh awal dari perencanaan pembangunan pariwisata multilateral secara terkoordinasi. 


Ia mengungkapkan bahwa promosi pariwisata di Bali pada masa itu merupakan respons lokal terhadap krisis politik dan ekonomi Indonesia pada era 1960-an, serta bagian dari upaya rezim Orde Baru untuk mengangkat citra dan devisa negara. Relevansinya dengan pariwisata di Bali, Bank Dunia pun ketika itu mendanai pembangunan pariwisata Bali dengan sistem pinjam. Kemudian, seiring berjalannya waktu, Bali dikenal sebagai surga dan destinasi wisata yang diimpikan. Sayangnya, kebanyakan hotel, pemandu wisata, restoran, hingga penyedia jasa wisata yang berdiri di Bali merupakan milik Soeharto dan kroninya. Penduduk lokal tidak diberi kesempatan untuk meraup keuntungan yang sama besarnya dengan pemerintah dari pulau mereka sendiri. Pun jika ada penduduk lokal yang membuka villa dengan harga lebih murah dari hotel, maka pemerintah akan menaikkan pajak villa tersebut.


Menurut Prof. Brad, hotel-hotel mewah yang dibangun di kawasan Nusa Dua pada masa itu diharapkan menjadi destinasi liburan utama bagi wisatawan internasional. Kawasan ini sengaja dirancang sebagai enclave atau wilayah yang terpisah dari kehidupan masyarakat lokal. “Tujuannya bukan saja agar masyarakat tidak terlalu terpengaruh oleh kepariwisataan, tetapi juga agar budaya Bali tetap asri,” ujarnya. Namun, dalam praktiknya, kawasan-kawasan wisata alternatif seperti Kuta dan Sanur justru berkembang pesat, dengan munculnya hotel kelas menengah dan homestay yang diminati wisatawan. “Wisatawan memilih juga menginap di sana. Akibatnya, Bank Dunia merasa bahwa bisnis yang mereka danai mendapat saingan dari bisnis lokal lain yang tumbuh secara organik,” tambah Prof. Brad.


Di Bali seperti yang diketahui bersama, selain keindahan geografinya, budaya merupakan daya tarik kuat yang menjadi faktor kedatangan turis. Pemerintah menjual budaya Bali tanpa mempertimbangkan cara untuk mempertahankannya tatkala turis asing dari berbagai negara dan budaya masing-masing datang untuk mengkonsumsi budaya Bali. Hal ini pun menjadi topik debat hangat yang dibicarakan dunia: bagaimana penduduk lokal Bali dapat mempertahankan budayanya kala pemerintah berusaha menghasilkan uang dari budaya tersebut. Pada sesi diskusi dibahas relevansi proyek pariwisata masa lalu terhadap tantangan pariwisata Bali hari ini. Menanggapi hal tersebut, Prof Brad menyatakan sudah banyak aktivis atau organisasi non-profit bidang lingkungan dan budaya yang berusaha mengatasi masalah terkikisnya budaya Bali, menurutnya mereka adalah pihak yang harus didukung dan dibantu oleh penduduk lokal. Kuliah seperti ini penting dilaksanakan untuk membangun kesadaran kritis tentang bagaimana proyek pembangunan global berinteraksi dengan dinamika lokal, terutama di wilayah-wilayah dengan warisan budaya yang kuat seperti Bali (Frans).