Prof. Wayan Pastika: Wacana Politik jadi Teks Utama Media Massa Indonesia

[caption width="1108" id="attachment_1403" align="aligncenter"]WhatsApp Image 2016-10-07 at 13.56.37 Prof. Pastika menyajikan makalahnya dengan moderator Dr. IGAA Mas Tri Adnyani (Foto-foto Widhi Kurniawan).[/caption]

Wacana politik selalu menjadi teks utama media massa karena berkaitan dengan kekuasaan, kebijakan, ketokohan dan kehidupan politik negara, bangsa dan rakyat. Bagi kalangan terdidik, pilihan informasi yang paling pertama dinikmati adalah berita politik atau teks politik, karena informasi semacam itu bukan hanya sebagai hiburan tetapi juga penambahan wawasan.

Demikian materi presentasi guru besar linguistik Fakultas Ilmu Budaya Unud, Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S., dalam Seminar Nasional Bahasa dan Budaya, 7—8 Oktober 2016, di Aula Widya Sabha Mandala Gedung Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Seminar yang dibuka Dekan FIB Prof. Ni Luh Sutjiati Beratha,M.A. ini dilaksanakan serangkaian dengan peringatan Bulan Bahasa Oktober dan mengambil tema "Bahasa, Politik, dan Kekuasaan dalam Dinamika Kebudayaan".

Seminar yang dilaksanakan secara bersama oleh delapan Program Studi yang ada di lingkungan FIB. [ https://fib.unud.ac.id/?p=1390 ] diikuti sekitar 150 peserta dengan 44 makalah, dan satu pembicara kunci serta tiga pembicara utama.

Pembicara kunci adalah Prof. Dr. Faruk, SU (dosen UGM) dengan judul makalah "Jamu Minum Orang Pintar: Soal Bahasa dan Kekuasaan".

Pembicara utama adalah Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A (dosen UNDIKSHA Singaraja) dengan judul "Sejarah Lokal: Keteladanan dalam Tindakan sebagai Pendidikan Karakter", Prof. Dr. I Wayan Pastika, M.S (dosen UNUD) dengan makalah "Bahasa Politik Media Televisi Indonesia", dan Dr. Daud Aris Tanudirjo, M.A. (UGM) mengambil tema "Biografi Bahasa: Refleksi Kuasa Bahasa".

Tidak Bermakna Tunggal

Dalam makalah yang berjudul "Bahasa Politik Media Televisi Indonesia", Prof. Pastika lebih jauh menyampaikan bahwa pesan-pesan politik yang disampaikan tidak selalu bermakna tunggal dan ungkapan-ungkapannya sering bersifat tidak langsung. Berdasarkan latar belakang tersebut, Pastika mengajukan tiga permasalahan pokok: (1) Bagaimanakah struktur wacana politik dalam bahasa Indonesia di media televisi Indonesia? (2) Perangkat linguistik apakah yang dimanfaatkan untuk mengemas pesan-pesan politik dalam wacana politik di media massa televisi? (3) Faktor-faktor apakah yang menetukan pilihan struktur wacana, struktur bahasa dan struktur pesan dari wacana politik di media televisi

Dalam wacana media ada tiga tindakan yang menngendalikan teks: (1) inisiasi (inisiator) yang merangsang munculnya berbagai gagasan dinamis, (2) tanggapan yang berperan menanggapi atau merespon topik yang dikemukakan oleh mitra tutur, dan (3) umpan balik (feedback) sebagai bentuk interaksi pengembanngan tema.

Sistem Tanda Makna

Prof. Dr. Faruk, SU (dosen UGM) dengan judul makalah "Jamu Minum Orang Pintar: Soal Bahasa dan Kekuasaan" menyampaikan bahwa dulu, mungkin hanya 2-3 tahun yang lalu, kita tak pernah membayangkan orang pintar minum jamu. Karena jamu berada di ruang yang berbeda, dengan jarak yang bisa dikatakan jauh, dari tempat orang pintar berada. Lingkungan jamu, misalnya, jamu gendong, seperti yang dicitrakan antara lain oleh film-film, adalah tukang becak yang parkir atau ngetem di tepi jalan, juga para buruh yang bekerja di kawasan industri dan tinggal di sekitar kawasan itu.

Umberto Eco, dalam Theory of Semiotics, menunjukkan bagaimana sistem tanda, yang di dalamnya bahasa menjadi model dan sekaligus bahan dari sistem itu, mempunyai fungsi taksonomik, membangun sebuah semesta makna yang tersusun serupa taksonomi dengan sekaligus mengelompokkan satuan-satuannya kedalam beberapa wilayah makna yang berbeda-beda dan bercabang-cabang. Yang kemudian menjadi masalah adalah apakah semesta makna itu merupakan representasi dari kenyataan yang sudah ada sebelumnya ataukah sesuatu yang berdiri sendiri atau bahkan membentuk kenyataan itu.

Sejarah Lokal dan Keteladanan

Pembicara Prof. Dr. Nengah Bawa Atmaja, M.A. dalam makalah "Sejarah Lokal: Keteladanan dalam Tindakan sebagai Pendidikan Karakter"menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia sedang sakit. Pendidikan karakter melalui pelajaran sejarah di sekolah dinilai dapat mengatasainya.

Menurut Prof. Bawa Atmaja, mengingat, sejarah adalah pentas nilai-nilai karakter berbentuk tindakan sosial para pahlawan. Tindakan ini dapat dijadikan sebagai model bagi siswa. Pola ini sangat penting sebab pendidikan karakter tidak dapat dilakukan lewat hafalan atau model pendidikan gaya bank, tapi melalui peniruan, pembatinan, pembiasaan, dan tindakan nyata dalam masyarakat. Pencapaian sasaran ini dapat dilakukan lewat pengajaran Sejarah Nasional Indonesia dan pengajaran Sejarah Lokal.

Pengajaran Sejarah Lokal amat penting sebab memberikan peluang bagi siswa menemukan pemodelan dalam konteks kelokalan, kenasionalan dan memperkuat  identitas bagi warga komunitas lokal dan/atau suatu etnis. Walaupun demikian dengan berpegang pada nilai-nilai universal yang tercakup dalam Sejarah Lokal dan Sejarah Nasional Indonesia maka kelokalan diharapkan tidak berkembang menjadi etnosentrisme atau lokalisme, melainkan menjadi karakter yang menjunjung tinggi asas Bhineka Tunggal Ika berbasiskan pada nilai-nilai Pancasila. Pencapaian sasaran ini membutuhkan perbaikan pada sistem pembelajaran Sejarah Lokal antara lain penyediaan buku suplemen yang disertai dengan kemampuan guru menerapkan model-model pembelajaran emansipatoris.

[caption width="1280" id="attachment_1404" align="aligncenter"]Prof. Sutji aktif dalam diskusi. Prof. Sutji aktif dalam diskusi.[/caption]

Bahasa Penciri Utama Budaya

Dosen UGM Yogya, Dr. Daud Aris Tanudirjo, M.A. dalam makalah "Biografi Bahasa: Refleksi Kuasa Bahasa" menyampaikan bahwa budaya budaya adalah penanda kemanusiaan kita karena tidak ada makhluk lain yang memiliki budaya selain manusia.

Lebih jauh diungkapkan bahwa semula, banyak ahli melihat teknologi sebagai penanda munculnya budaya, seakan mahluk lain tidak mampu menciptakan teknologi. Namun penelitian Jane Goodall di antara para chimpanze membuktikan bahwa kelompok kera itu mampu menciptakan alat, sejak itu orang berpaling pada bahasa sebagai penciri utama budaya.

Kuasa bahasa menjadi semakin kuat ketika ia mampu menjembatani pikiran dan pengalaman melalui apa yang kita kenal sebagai metafora (metaphor).  Metafora menjadikan manusia mampu meringkas dan mengorganisasikan pengalaman dan pengetahuan tentang alam semesta.

Makrokosmos = mikrokosmos, organisasi kekuatan alam = pantheon, kantor = tubuh, dunia = kampung, kehidupan = panggung sandiwara, anak = buah hati, dan seterusnya.

Metafora membantu manusia membandingkan, menemukan kesamaan, dan menarik generalisasi sehingga mendapatkan pengetahuan yang sistematis. Ini memudahkan manusia untuk belajar.

Dua hari

Seminar di hari kedua menyajikan makalah pendamping yang judul-judulnya bisa diunduh dalam link berikut. JADWAL MAKALAH

(dp)