Seminar Seri Sastra dan Budaya Membahas Topik Tradisi Lisan di Era Global
Seminar Seri Sastra dan Budaya Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud untuk bulan Agustus 2016 diisi dengan pembahasan tiga makalah dengan tema sentral "Tradisi Lisan di Era Global: Meluap atau Menguap?" Seminar yang terbuka untuk umum dan gratis ini digelar Selasa, 30 Agustus 2016, mulai pk. 09.00-12.00, di Aula FIB Unud, Sanglah Denpasar.
Tiga pembicara yang akan menyajikan makalah dalam seminar seri kali ini adalah Dr. I Ketut Jirnaya (Program Studi Sastra Jawa Kuno), Ida Ayu Laksmita Sari,S.Hum,M.Hum. (Sastra Jepang), dan Dr. Maria Matildis Banda (Sastra Indonesia). Seminar akan dipandu oleh Dr. Ida Bagus Jelantik Sutanegara, dosen Program Studi Sastra Indonesia.
Panitia Seminar Seri Prof. I Nyoman Darma Putra menyampaikan bahwa ketiga pemakalah telah menyajikan makalah mereka dalam seminar nasional Asosiasi Tradisi Lisan pada 29-30 Juli 2016 di Universitas Dwijendra. Dalam Seminar Seri ini mereka diundang menyajikan makalah itu kembali karena memiliki makalah bagus dan tidak banyak warga Fakultas Ilmu Budaya dan umum yang sempat mengikuti penyajian mereka dalam seminar bulan Juli di Universitas Dwijendra.
"Ada yang makalah tayang ulang, ada makalah baru juga," ujar Darma Putra. Berikut adalah ketiga abstrak makalah mereka.
TRADISI LISAN DAN PROSES PELISANAN BEBERAPA CUPLIKAN CERITA BERTEMAKAN GEDENE KALAHANG CERIK DI BALI
Oleh I Ketut Jirnaya, Program Studi Sastra Jawa Kuno, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Masyarakat Bali mengenal tradisi lisan dari dulu sampai saat ini. Keberlangsungan tradisi lisan di Bali walaupun masyarakat telah melek huruf tetap saja berjalan terutama melalui satua (cerita/dongeng). Hal ini terjadi karena satua masih dirasakan berfungsi sebagai alat pendidikan karakter anak-anak maupun orang dewasa, sesuai dengan fungsi salah satu tradisi lisan yang dirumuskan oleh Bascom (1965), Dananjaya (1991), dan Sudikin (1993). Beberapa dongeng se-tema Gedene Kalahang Cerik sering dilisankan ketika ada momen yang tepat untuk menasehati anak-anak maupun orang dewasa bahwa, yang besar tidak selalu akan menang, tetapi banyak hal justru yang besar itu akan dikalahkan oleh yang kecil. Intinya, yang besar jangan sombong. Dongeng ini bagi si pencerita, banyak yang tidak mengetahui kelengkapan cerita maupun sumber cerita. Mungkin itu tidak penting, yang lebih penting sesungguhnya pengembangan cerita yang seanalogi dengan dongeng itu. Demikian proses pelisanan beberapa tradisi lisan di Bali.
***
MEMPERHALUS CERITA RAKYAT UNTUK PEMBENTUKAN KARAKTER: KAJIAN ATAS NARASI KEKERASAN DALAM CERITA RAKYAT BALI DAN JEPANG
Oleh Ida Ayu Laksmita Sari, Prodi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Cerita rakyat Bali yang ditargetkan untuk anak-anak banyak sekali yang berisi narasi kekerasan, penyiksaan, dan kekejaman. Dalam kisahnya, tokoh protagonis dan antagonis senantiasa terlibat dalam konflik yang klimaksnya berisi tindakan kekerasan seperti membunuh atau mencincang badan. Hal ini terasa kontradiktif dengan keinginan untuk menjadikan cerita rakyat itu sebagai kisah-kisah mulia untuk memperhalus karakter anak-anak. Makalah ini menganalisis aspek-aspek kekerasan dalam cerita rakyat Bali yang diperuntukkan bagi anak-anak. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif dan objektif, analisis terhadap narasi kekerasan dongeng Bali dikomparasikan dengan cerita rakyat Jepang, negeri yang juga kaya akan tradisi lisan jenis cerita untuk konsumsi anak-anak. Pertanyaan yang diangkat dalam makalah ini adalah apakah narasi kekerasan dalam dongeng Bali untuk kosumsi anak-anak mesti dipertahakan?; tidakkah narasi itu berbahaya bagi imajinasi anak yang mudah meniru?; apakah masuk akal mengadaptasi cerita-cerita konsumsi anak-anak dengan menghaluskan narasi kekerasan tanpa dituduh mengubah struktur, isi, dan amanat cerita? Dengan analisis struktur dan isi secara komparatif antara dongeng Bali dengan dongeng anak-anak Jepang, makalah ini berpendapat perlunya pengarang, penutur, tukang cerita, pemerhati sastra di Bali, dan orang tua untuk merekonstruksi atau mengadaptasi cerita-cerita tanpa kehilangan daya tarik dan pesan mulia untuk pembentukan karakter anak-anak.
***
TRADISI LISAN DALAM KONTEKS KELISANAN SEKUNDER
Oleh Maria Matildis Banda, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Unud
Makalah ini menjelaskan dua hal tentang tradisi lisan di era global yaitu kelisanan primer dan kelisanan sekunder. Kelisanan primer berhubungan dengan kelisanan yang mengimplikasikan bunyi, sifatnya sesaat, dan tidak dapat dihentikan. Kelisanan primer atau kelisanan pertama mengandalkan daya ingat yang dirumuskan dalam piranti mnemonik atau sistem formula menurut Lord (1976).
Kelisanan sekunder (secondary orality) adalah sebuah konsep kelisanan yang dikemukakan oleh P. Walter Ong (1982) dalam menanggapi keberadaan percetakan (tradisi tulis), telepon, radio, televisi, dan berbagai jenis teknologi elektronik. Kelisanan sekunder adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam dunia globalisasi. Globalisasi dipahami sebagai serangkaian proses yang mengarah pada penyempitan atau tenggelamnya dunia, yaitu semakin meningkatnya kesalingterhubungan global dan pemahaman kita atasnya (Barker, 2009:295).
Untuk menjelaskan hubungan antara kelisanan primer, kelisanan sekunder, dan dunia globalisasi digunakan metode pustaka dan pengamatan lapangan dengan dukungan teori kelisanan primer, kelisanan sekunder. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa dalam era global, terjadi sebuah kondisi yang menjadikan ruang-ruang keluarga disesaki oleh berbagai identitas baru suguhan media elektronik seperti televisi dan handphone.
Dalam konteks kelisanan kedua ini, tradisi lisan diharapkan berani melakukan berbagai trobosan pewarisan yang kreatif baik isi maupun kemasan. Di samping itu perlu pula trobosan ekonomis yang dapat menjadikan tradisi lisan mampu bersaing dalam modal kapital dan pasar global dengan tetap mengedepankan nilai-nilai luhur yang dimilikinya.***
UDAYANA UNIVERSITY