SEMINAR SERI - Prof. Wayan P. Windia: Nyama Braya, Cermin Harmoni Sosial Orang Bali

[caption id="attachment_1829" align="aligncenter" width="480"] Prof. Wayan P Windia (kiri) saat Seminar Seri di FIB Unud, Selasa 21 Februari 2017. Seminar dipandu I Made Sujaya.[/caption]

Istilah nyama braya begitu populer di kalangan masyarakat Bali dalam dua dasa warsa terakhir. Popularitas istilah nyama braya tidak saja dalam ranah sosial, tetapi juga berbagai bidang lain, termasuk politik. Dari perspektif hukum adat Bali, nyama braya cermin harmoni sosial orang Bali.

"Manyama braya itu penting. Tapi, apakah kita mengetahui dan memahami hakikat nyama braya itu secara tepat, ini penting pula didiskusikan," kata Guru besar hukum adat Bali dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. Wayan P. Windia, S.H., M.Si., saat menjadi pembicara dalam seminar seri sastra, sosial, dan budaya di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana (Unud), Selasa (21/2/2017).

Seminar dihadiri para dosen, mahasiswa dan masyarakat umum.

Windia menjelaskan istilah nyama braya dikenalkan oleh AA Made Cakra melalui lagu "Bungan Sandat" beberapa puluh tahun lalu. Akan tetapi, istilah nyama braya baru mencapai popularitasnya dalam wacana publik di Bali setelah lagu "Bungan Sandat" didendangkan penyanyi lagu pop Bali, AA Wirasuta.

Beda Makna

Istilah nyama dan braya dalam adat Bali memiliki perbedaan makna yang jelas. Nyama merujuk kepada hubungan darah, terutama dari garis kapurusa (patrilineal). Braya mengacu kepada hubungan perkawanan, pasawitran atau kanti.

"Nyama erat kaitannya dengan pasidikaran, sembah kasembah, sumbah kasumbah, parid kaparid dan tegen kategen," beber dosen kelahiran Ubud, Gianyar, 27 November 1955 ini.

Dalam hukum adat Bali, tegas Windia, nyama memiliki linggih atau status hukum yang kuat dalam hal hak waris. Orang yang berada dalam hubungan nyama memiliki hak warisan, sedangkan braya tidak sama sekali.

Nyama meliputi hubungan darah ke atas atau undagan nyama (garis keturunan ke atas) dan lingsehan nyama (garis keturunan ke samping). Undagan nyama dalam adat Bali, secara berurutan meliputi bapa (ayah), pekak (kakek), kumpi, kelab, kelambiyun, klepek, dan klewaran. Lingsehan nyama di antaranya misan, mindon, mindon ping pindo, mindon ping telu.

[caption id="attachment_1830" align="aligncenter" width="640"] Prof. Wayan P. Windia[/caption]

Perkokoh Hubungan Baik

Menurut Windia, penggabungan istilah nyama dan braya memberi pesan kepada orang Bali untuk memperkokoh kedua hubungan itu, baik karena ada hubungan darah (nyama) maupun hubungan karena perkawanan atau persahabatan. Keduanya harus sama-sama dijaga dan dikuatkan sehingga tercipta rahayu (kedamaian).

Namun, Windia juga mengkritisi penggunaan istilah nyama selam, nyama kristen dan nyama cina. Kata Windia, jika merujuk makna nyama braya dalam adat Bali, istilah nyama untuk relasi yang bukan berdasarkan hubungan darah, tidak tepat. Menurut Windia, istilah yang tepat semestinya braya selam, braya kristen, dan braya cina.

"Penggunaan istilah nyama selam, nyama kristen, atau nyama cina itu murni kesalahan pemahaman terhadap konsep nyama dan braya dalam adat Bali," kata penulis buku Meluruskan Awig-awig yang Bengkok ini.

Bukan tanpa Masalah

Meski sebagai cerminan harmoni sosial orang Bali, nyama braya bukan tanpa masalah. Cukup sering terjadi hubungan nyama terganggu bahkan rusak karena puik (bermusuhan) atau pegat manyama (putus hubungan keluarga). Bahkan, ada kasus retaknya hubungan antara anak dan orang tua yang dikenal dengan istilah pegat mapianak (putus hubungan ayah-anak). Hal serupa juga muncul dalam hubungan mabraya.

"Intinya, jangan sampai mengabaikan per-nyama-an dan jangan juga lupakan per-braya-an. Kedua-duanya harus diperkokoh untuk mewujudkan kedamaian bersama," kata Windia yang tahun lalu meluncurkan buku Mamadik: Cara Biasa Orang Biasa Kawin Biasa di Bali. (SJY)