Masa Depan Buku Sastra Bali Modern: Sebagai Komoditas Suram, sebagai Karya Seni Cerah
[caption id="attachment_1046" align="alignnone" width="1280"] I Nyoman Darma Putra (paling kiri) saat membentangkkan makalah dalam Kongres Bahasa Daerah Nusantara di Gedung Merdeka, Bandung, 2-4 Agustus 2016.[/caption]
Sebagai komoditas, masa depan buku sastra Bali modern tergolong suram, sedangkan sebagai karya seni dan mata air inspirasi pemikiran, masa depannya cerah dan mulia.
Demikian dinyatakan dosen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Prof. I Nyoman Darma Putra, saat membentangkan makalah dalam Kongres Bahasa Daerah Nusantara di Gedung Merdeka Bandung, Rabu, 3 Agustus 2016. Kongres yang pertama kali digelar itu dilaksanakan oleh bersama oleh Yayasan Kebudayaan Rancage, Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Dinas Pariwisata dan Budaya Jawa Barat, berlangsung 2-4 Agustus.
Darma Putra adalah salah satu dari sekitar 30 pemakalah undangan yang diminta untuk menyampaikan makalah tentang tantangan dan prospek penerbitan buku sastra Bali modern.
Di hadapan sekitar 300 peserta kongres, lewat makalah berjudul "Nyanyi Sunyi dan Tak Jadi Mati: Tantangan dan Prospek Penerbitan Buku Sastra Bali Modern", Darma Putra mengatakan bahwa jalan hidup sastra Bali modern berawal dari buku teks sekolah dasar zaman Belanda tahun 1910-an.
"Namun, dalam perkembangannya, agak tersendat-sendat, muncul tenggelam karena sedikit buku terbit," ujar penulit buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern (2010 [2000])
Dalam usia 100 tahun lebih, kehidupan sastra Bali modern seperti ada dan tiada mengingat karya yang muncul hanya satu-dua, sesekali ada lalu hilang, dan muncul kembali.
Untuk merangsang penulisan, dilaksanakan sayembara menulis puisi, cerpen, dan novelet. Yang diprakarsai oleh Prof Ngurah Bagus lewat Sabha Sastra dan Balai Penelitian Bahasa Singaraja."Makanya sastra Bali modern sempat disebt sebagai sastra sayembara karena baru muncul kalau ada sayembara," kata Darma Putra.
Hadiah Rancage
Dinamika kehidupan sastra Bali modern memasuki babak baru sejak 1998 ketika diikutkan dalam seleksi penerimaan anugerah Sastra Rancage oleh Yayasan Kebudayaan Rancage yang dipimpin satrawan Ajip Rosidi.
Sejak itu, mulai muncul beberaoa penulis baru usia muda yang menerbitkan buku sastra Bali modern seperti antologi puisi, cerpen, novel, dan drama.
Selain memilih buku sastra terbaik setiap tahun, Rancage juga memberikan anugerah kepada tokoh yang menunjukkan jasa dalam pengembangan bahasa dan sastra Bali.
"Sejak 18 tahun, sudah 36 orang yang menerima Hadiah Sastra Rancage. Mereka terus mengembangkan sastra Bali modern," ujar Darma yang jadi juri Rancage sejak tahun 2000.
Populasi Penulis
Menurut Darma Putra, masa depan buku tergantung populasi penulisnya. Untuk sastra Bali modern kelihatan ada cukup penulis yang menuli dan menerbitkan buku sehingga kehadiran sastra Bali modern sebagai karya seni memiliki masa depan.
"Ada dua lusinan penulis sastra Bali modern dewasa ini, dan menariknya usia mereka sebagian besar muda sehingga bisa diharapkan akan tetap lahir buku sastra dari mereka untuk masa 40-50 tahun ke depan," tutur Darma.
Dia menyebutkan ada penulis sastra Bali modern berusia 22 tahun, dan kemungkinan besar mereka akan terus menulis sampai 50 tahun ke depan saat berusia 70 tahunan.
Darma Putra menyimpulkan bahwa meski secara komersial dan sebagai komoditas masa depan buku sastra Bali modern tidak menjanjikan manfaat ekonomi, tetapi dari segi keindahan, pemertahanan bahasa dan budaya, buku sastra sangat penting dan memiliki masa depan yang mulia.
Untuk itu, Darma Putra mendorong penulis dan pemerintah serta berbagai kalangan mendukung penulisan dan penerbitan buku sastra Bali modern. (*)
UDAYANA UNIVERSITY