Orasi Ilmiah Warnai Srangkaian HUT ke-60 Fakultas Ilmu Budaya Unud


Dr. Bambang Dharwiyanto Putro saat memberikan orasi ilmiah



Fakultas Ilmu Budaya Unud menggelar Orasi Ilmiah serangkaian HUT ke-60 dan BK Ke-37 pada Kamis, 20 September 2018. Orasi ilmiah ini diselenggarakan di Aula Widya Sabha Fakultas Ilmu Budaya.



Dr. Bambang Dharwiyanto Putra menjadi penyaji dalam orasi ilmiah tersebut dengan materi “Konstruksi Stigma Gangguan Jiwa”. Orasi ilmiah ini diikuti oleh semua civitas akademik Fakultas Ilmu Budaya.


Stigma Penderita Gangguan Jiwa



Gangguan Jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan global, dan Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi yang masuk dalam lima besar gangguan jiwa berat terbanyak di Indonesia. Masyarakat pun masih banyak yang beranggapan bahwa penyakit jiwa merupakan satu noda atau merupakan akibat dari dosa-dosa yang diperbuat manusia sehingga masyarakat menanggapi para penderita dengan rasa takut dan bersikap menghindar.



Stigma yang mengakar di dalam struktur masyarakat, juga dalam norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan beberapa kelompok menjadi kurang dihargai dan terjadinya penolakan sosial, sedangkan kelompok lainnya merasa superior. Stigma ini menyebabkan keluarga penderita tidak mencari pengobatan yang sangat dibutuhkan oleh penderita gangguan jiwa.



Bentuk-bentuk stigma pad penderita gangguan jiwa terbagi atas dua hal, yakni public stigma (stigma yang berasal dari masyarakat) dan self stigma (stigma berasal dari penderita dan keluarga). Bentuk-bentuk public stigma diantaranya adalah penolakan, pengucilan, dan kekerasan. Sementara self stigma antara lain prasangka buruk, merasa bersalah, serta ketakutan dan kemarahan.



Dosen dosen di lingkungan FIB yang turut menghadiri orasi ilmiah


Faktor Terjadinya Stigma



Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya stigma para penderita gangguan jiwa terbagi atas dua faktor, yakni faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal diantaranya adalah bahwa sampai saat ini penyakit jiwa masih merupakan aib dan memalukan. Stigma yang terjadi juga tidak lepas dari latar belakang mitos yang beredar di masyarakat, sehingga pilihan perawatan dan kepercayaan keluarga pasien terhadap peran dukun (balian) lebih dominan dibandingkan membawa langsung penderita ke rumah sakit jiwa.



Faktor internal yaitu ketidaktahuan keluarga terkait penyebab gangguan jiwa. Padahal di sisi lain keluarga mempunyai tugas untuk membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat bagi anggota keluarganya yang sakit. Stigma yang diproduksi oleh masyarakat secara terus menerus ini yang menyebabkan anggota keluarga enggan memberikan penanganan yang tepat terhadap penderita gangguan jiwa.



Implikasi dari stigma terhadap penderita gangguan jiwa diantaranya adalah pengabaian tindakan pengobatan secara cepat dan tepat. Implikasi kedua terjadinya pengucilan sosial yang diberikan masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa. Implikasi ketiga adalah kewajiban pasien untuk patuh dan tunduk (pasrah) kepada segala aturan yang sudah tersematkan. Implikasi keempat adalah diskriminasi terhadap para penderita gangguan jiwa merupakan bentuk penjabaran dari hegemoni kekuasaan dan dominasi otoritas aparatus sosial dan aparatus medis/kesehatan yang melahirkan kesenjangan sosial serta identitas.



Peserta Orasi Ilmiah


Temuan dalam Penelitian



Penelitian yang dilakukan Dr. Bambang menemukan temuan baru diantaranya adalah rumah sakit jiwa alih-alih sebagai katup penyelamat dari konsisi sakit namun justru memperkuat konstruksi stigmatisasi pasien. Kedua, perawatan kesehatan di rumah sakit berpotensi besar mengukuhkan identitas baru pada pasien sebagai individu yang berbahaya bagi lingkungan.



Penderita gangguan jiwa merasa lebih sulit lepas dari stigma dari pada gangguan jiwa itu sendiri. Mereka menjadi korban objek justifikasi ketidakwarasan dalam terminologi masyarakat. Selanjutnya dalam praktek kuasa otoritas perawatan pasien di RS Jiwa ditemukan adanya pemisahan hubungan interaksi antara dokter dan pasien. Konsep “menjadi pasien RSJ” dan “bekas pasien RSJ” tidak berpengaruh terhadap perubahan sikap dan pennilaian masyarakat terhadap pencitraan diri penderita gangguan jiwa. Kemudian stigmatisasi yang diberikan  masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa dan pengawasan sosial yang menginstitusionalisasi para penderita gangguan jiwa dalam lingkaran pengawasan penuh.



Saran dan Rekomendasi



Atas penelitian yang telah dilakukan, Dr. Bambang memberikan saran dan rekomendasi diantaranya perlu adanya peningkatan kerja sama berbagai pihak terkait serta testimoni langsung pasien yang telah sembuh untuk menyampaikan segala informasi kesehatan jiwa sebagai upaya meminimalisir stigma yang ada.


Rumah sakit jiwa diharapkan dapat lebih meningkatkan dan mengembangkan lagi sosialisasi program pascaperawatan yang lebih bersifat terbuka dalam hubunga relasi yang bersifat intersubjektif. Ketika melakukan asuhan keperawatan kepada keluarga yang salah seorang anggotanya mengalami gangguan jiwa, para perawat hendaknya memperhatikan masalah pengetahuan keluarga pasien dalam merawat anggotanya. Keluarga pasien mesti mendapatkan edukasi tentang penyakit gangguan jiwa dan sebagai unit yang paling dekat dengan keluarga pasien.


Orasi ilmiah berlangsung dengan baik dan lancar, seluruh peserta mengikuti dengan penuh semangat kegiatan orasi ilmiah. Pada penghujung orasi ilmiah, panitia memberikan hadiah buku bagi peserta yang beruntung


(I Gede Gita Purnama A.P).

.