Prodi Arkeologi Gelar Bedah Buku "Bhatara Celak Kontong"
Program Studi Arkeologi menggelar kegiatan bedah buku pada Jumat, 13 Maret
2020, di Ruang Priyono Fakultas Ilmu Budaya. Kegiatan bedah buku kali ini
membedah buku Bhatara Celak Kontong Tamblingan yang ditulis oleh A.A. Sagung
Mas Ruscitadewi. Buku ini merupakan hasil penelitian penulis untuk tesis S2 di
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar pada tahun 2014. Mas Ruscitadewi
merupakan peneliti yang juga terlibat aktif dalam dunia sastra dan jurnalistik
di Bali.
Bedah buku kali ini menghadirkan langsung penulis buku dan bertindak
sebagai pembedah dalam acara ini adalah Dr. Drs. I Nyoman Wardi, M.Si, dosen
Prodi Arkeologi.
Dr. Wardi melihat buku ini sebagai refrensi penting bagi peneliti yang
hendak lebih dalam meneliti Tamblingan. Salah satu hal menarik yang diungkap
dalam buku ini adalah tentang sejarah pemujaan Lingga Yoni telah dimulai sejak
masa pra-sejarah, masa akhir Megalitik, khususnya zaman perundagian.
“Secara umum buku ini cukup padat dan menarik, kaya dengan refrensi,
diungkap dengan bahasa yang sederhana, serta mudah dimengerti, “ungkap Dr.
Wardi.
Bhatara Celak Kontong Tamblingan
Mas Rsucita menyampaikan bahwa Bhatara Celak Kontong Lugeng Luwih di
Tamblingan merupakan warisan dari tradisi prasejarah, yaitu pemujaan batu
besar. Bhatara Celak Kontong Lugeng Luwih ini berbentuk lingga besar. Lingga
yoni lazimnya dipakai sebagai media pemujaan terhadap Siwa, tetapi berdasarkan
data sejarah yang ditemukan di Pura Dalem Tamblingan, Desa Munduk, Kabupaten
Buleleng, juga berkaitan dengan pemujaan terhadap Wisnu.
Bhatara Celak Kontong atau Lingga Yoni di Tamblingan ini tidak dianggap
sebagai simbol Siwa tetapi sebagai Wisnu (Dewa Kemakmuran atau Rambut Sedana),
berbeda dengan India yang menganggap sebagai simbol Siwa.
Perbedaan-perbedaan yang dapat dilihat adalah dari bentuk, keyakinan,
maupun tata cara pemujaan. Perbedaan ini telah diwariskan secara turun-menurun
dan tetap diyakini oleh masyarakat sekitar Tamblingan.
Pemujaan Bhatara Celak Kontong Tamblingan dilakukan oleh Catur Desa Adat
Dalem Tamblingan. Sistem pemujaan ini menunjukkan sebuah konsep harmonisasi
antara Purusa Pradana (Siwa Wisnu). Konsep Siwaisme ditunjukkan dengan segala
proses upacara untuk memohon hujan pada Lingga Yoni ini yang dipimpin oleh
seorang yang disebut Siwa, sedangkan media utama yang dipakai adalah air
sebagai simbol Wisnu.
Kegiatan bedah buku ini diikuti oleh dosen dan mahasiswa prodi Arkeologi.
Seluruh peserta sangat antusias mengikuti kegiatan bedah buku, banyak
pertanyaan dan tanggapan yang dilontarkan oleh peserta bedah buku.
(gita)
UDAYANA UNIVERSITY