Tawarkan Perspektif Baru tentang Relasi Budaya dan Identitas di Bali, Alumni Prodi Arkeologi, Antropologi Budaya, dan Ilmu Sejarah FIB Unud Adakan Diskusi dan Bedah Buku
Komunitas Nuturang yang dibentuk oleh alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, khususnya dari Program Studi Arkeologi, Antropologi, dan Ilmu Sejarah menggelar diskusi publik sekaligus bedah buku dengan tema “Budaya Bali, Siapa yang Berhak?” di Denpasar, 31 Mei 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari program “Melihat Bali dari Berbagai Sisi” yang bertempat di Dalam Rumah Community Hub, Denpasar. Komunitas Nuturang, sejak berdiri pada Februari 2024, berkomitmen untuk menghadirkan ruang diskusi dan dokumentasi terhadap cerita-cerita lokal yang kerap luput dari narasi arus utama, khususnya mengenai isu-isu kemanusiaan, kebudayaan, dan keberagaman di Bali. Melalui kegiatan ini, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kolektif mengenai pentingnya mendokumentasikan dan merawat keragaman narasi budaya di Bali.
Dalam seri pertama program “Melihat Bali dari Berbagai Sisi”, Nuturang berkolaborasi dengan Gede Budarsa, seorang antropolog dan dosen Prodi Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, yang baru saja menerbitkan buku berjudul “Air Wudhu di Tengah Samudra Tirtha: Kebudayaan Masyarakat Islam Pegayaman Bali”. Buku ini menjadi pintu masuk penting dalam memahami dinamika relasi antara komunitas Muslim Pegayaman dan budaya Bali secara lebih luas, terutama dalam konteks dominasi narasi budaya Hindu-Bali yang selama ini lebih banyak mendapatkan sorotan. Diskusi ini menghadirkan dua akademisi terkemuka, yaitu Prof. Dr. I Nyoman Yoga Segara, S.Ag., M.Hum. dan Dr. Purwadi, M.Hum. Kedua akademisi tersebut akan membedah isi buku sekaligus membahas tentang bagaimana konstruksi budaya Bali telah dipengaruhi oleh berbagai kekuatan sejarah, termasuk kolonialisme.
Dalam pemaparannya, para pembicara menyoroti bagaimana citra Bali sebagai “Pulau Hindu” dibentuk secara sistematis oleh wacana kolonial yang menyasar eksotisme spiritual dan kultural Bali untuk kepentingan pariwisata dan geopolitik. Narasi dominan ini kemudian melahirkan batas-batas identitas budaya yang cukup eksklusif, di mana budaya Bali dianggap tidak terpisahkan dari simbolisme agama Hindu. Hal ini mendorong munculnya kampanye identitas seperti “Ajeg Bali”, yang pada satu sisi berfungsi sebagai respons atas guncangan globalisasi dan tragedi Bom Bali, tetapi pada sisi lain turut memperkuat sekat-sekat simbolik yang bisa berdampak pada marginalisasi kelompok non-Hindu. Dalam forum ini, para peserta diajak untuk memikirkan ulang siapa saja yang sebenarnya “berhak” atas budaya Bali.
Komunitas Muslim seperti di Pegayaman memperlihatkan bahwa tidak hanya dapat menyesuaikan diri dengan kultur lokal, tetapi juga turut memperkaya kebudayaan Bali dengan cara mereka sendiri—baik melalui tradisi sosial, bahasa, hingga praktik budaya yang khas. Pegayaman adalah contoh bagaimana masyarakat Islam Bali dapat menjalankan keislaman yang berakar kuat pada nilai-nilai lokal, tanpa kehilangan jati diri mereka sebagai bagian dari Bali. Dalam diskusinya, para peserta, yang terdiri atas mahasiswa, akademisi, komunitas budaya, dan masyarakat umum, banyak melontarkan pertanyaan mengenai batas-batas representasi budaya serta kemungkinan membangun relasi budaya yang lebih adil dan setara di tengah masyarakat multikultural. Ke depannya, kegiatan semacam ini diharapkan dapat memperluas ruang-ruang budaya, sehingga tidak hanya menjadi milik kelompok tertentu saja, melainkan menjadi rumah bersama bagi semua yang hidup dan tumbuh di Pulau Dewata.
UNIVERSITAS UDAYANA