Prodi Doktor Kajian Budaya Unud Gelar Seminar Multikulturalisme dan Budaya Populer
[caption id="attachment_2202" align="aligncenter" width="1280"] Dekan FIB Unud Prof. Sutji (dua dari kir) dan Prof. Ardhana (dua dari kanan) menyaksikan penandatanganan sertifikat kenang-kenangan (Foto-foto Ida Ayu Laksmita Sari)[/caption]
Program Studi Doktor (S3) Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana menggelar seminar nasional yang bertajuk "Multikulturalisme & Popular Culture, Kamis 15 Juni 2017, bertempat di Auditorium Widya Sabha Mandala, Gedung Prof. Ida Bagus Mantra.
Seminar yang diikuti 100 orang ini dibuka oleh Dekan FIB Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.. Seminar menampilkan empat pembicara, terdiri dari akademisi dan seorang intelektual publik atau kolomnis surat kabar.
Keempat pembicara itu adalah: Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A. (UGM) membawakan makalah berjudul "Popular Culture di Indonesia: Dinamika Historis, Tantangan dan Respons";
Prof. Dr. Yekti Maunati, M.A. (LIPI) dengan makalah "Commodification of Culture and Popular Culture";
Prof. Dr. I Nengah Bawa Atmaja, M.A. (Undiksha) dengan makalah "Budaya Populer dari Sudut Pandang Kajian Budaya: Sebuah Pendekatan Teoritis".
Satu-satunya pembicara intelektual publik dan penulis adalah I Made Sudira membawakan makalah yang berjudul "Budaya Populer: Kebijakan Publik dan Perilaku Masyarakat."
[caption id="attachment_2208" align="aligncenter" width="1280"] Peserta seminar.[/caption]Interpretasi Multikulturalisme
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unud, Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A dalam sambutannya menyatakan seminar nasional ini dilaksanakan untuk mendiskusikan dan menginterpretasikan pentingnya topik multikulturalisme dan budaya populer sehingga muncul pemahaman, dan apresiasi terhadap keanekaragaman dan persamaan budaya untuk mewujudkan multikulturalisme.
[caption id="attachment_2209" align="aligncenter" width="1019"] Pembicara dalam seminar multikulturalisme dan budaya populer.[/caption]Prof. Sutji menegaskan bahwa multikulturalisme adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individu maupun budaya. Perbedaan budaya, harmoni, kesederajatan, egaliter (saling menghormati) dipandang sebagai landasan dalam multikulturalisme.
"Sebagai contoh mozaik masing-masing bentuk masih kelihatan utuh tidak bercampur sama seperti penelitian kami di mana budaya Tionghoa dan Bali masing-masing memiliki keunikan namun tetap saling menghormati, " ujar Prof. Sutji.
Dekan berharap semoga seminar ini dapat memberikan pencerahan tentang multikulturalisme dan budaya populer, dan di harapkan bermuara pada penyatuan visi Fakultas Ilmu Budaya, Unud yaitu memiliki keunggulan dan kemandirian dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan aplikasi keilmuan yang berlandasan kebudayaan.
[caption id="attachment_2207" align="aligncenter" width="1280"] Peserta seminar.[/caption]Pendekatan Baru
Pemakalah kunci pertama yaitu, Prof. Bambang Purwanto memaparkan bahwa diperlukan pendekatan baru yang menempatkan budaya populer sebagai sejarah orang kebanyakan dan sejarah kehidupan sehari-hari, yang sekaligus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah sosial dan sejarah kebudayaan dalam konteks hybrid culture.
"Selama ini secara historis, budaya populer cenderung dimaknai sebagai representasi dari fenomena dan kenyataan minoritas dan kurang bermutu. Pendekatan budaya populer sebagai pusat perhatian mampu memindahkan fokus penulisan sejarah dari para pembuatan keputusan dan institusi kepada kenyataan sejarah yang berhubungan dengan pendapat dan tindakan keseharian dari mereka yang terdampak oleh aksi para pembuat keputusan," jelas Guru Besar Ilmu Sejarah UGM ini.
"Perubahan pendekatan ini akan menghasilkan perubahan aktor sejarah, dari elite ke orang kebanyakan atau masyarakat yang sekaligus mengadopsi inklusivitas dan prinsip-prinsip multikulturalisme sebagai ciri penting dalam bangunan konstruksi sejarah yang dihasilkan".
Prof. Bambang Purwanto juga menjelaskan bahwa konstruksi historis tidak lagi terikat pada sumber yang berasal dari dokumen resmi dan tertulis, melainkan telah merambah pada fungsi dominan sumber lisan, visual, dan bahkan audio serta indra.
Komodifikasi Budaya
Pemakalah kunci kedua, Prof. Dr. Yekti Maunati, M.A. dalam presentasinya mengenai komodifikasi budaya menjelaskan bahwa komodifikasi budaya semakin marak terjadi seiring dengan pesatnya perkembangan pariwisata internasional dimana kebutuhan untuk melihat budaya dari etnik tertentu menjadi bagian yang tidak terpisahkan.
"Komodifikasi disini diartikan sebagai proses pengemasan dan pemasaran obyek-obyek budaya, pertunjukkan budaya, ritual, arsitek, dan gaya hidup suatu kelompok. Proses ini melibatkan nilai ekonomi dari aspek kehidupan manusia yang semula nilainya terpisah dari industri pariwisata. Proses komodikasi budaya serta budaya populer dapat menjadi bagian penting dalam proses pembentukan identitas kelompok etnik," jelas peneliti senior pada Pusat Penelitian Sumberdaya Regional (LIPI) ini.
Makin BerkembangKetua Panitia Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A. yang juga Ketua Prodi Doktor Kajian Budaya mengharapkan bahwa seminar ini perkembangan kajian budaya semakin berkembang dan bermanfaat unuk masyarakat.
Acara juga diisi dengan penandatanganan sertifikat oleh pembicara sebagai kenang-kenangan seminar.(Ida Ayu Laksmita Sari).
UDAYANA UNIVERSITY