Berlangsung Hangat, Seminar Seri Sastra Sosial Budaya FIB Unud Bahas Cerita Rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang serta Refleksi Keindahan dan Kehancuran Lingkungan dalam Puisi
Pembicara dan moderator dalam seminar seri, dari kiri: Ida Ayu Laksmita Sari, I Made Sujaya, Puji Retno Hardiningtyas (Foto-foto Darma Putra)
Seminar Seri Sastra, Sosial, dan Budaya dengan topik cerita rakyat dan puisi lingkungan di ruang Soekarno, Kampus Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Udayana (Unud), Jumat (4/8) berlangsung hangat.
Seminar yang dimoderatori I Made Sujaya ini menampilkan dua kandidat Doktor Ilmu Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra, yakni Ida Ayu Laksmita Sari dan Puji Retno Hardiningtyas itu berlangsung hangat.
Dayu Mita mempresentasikan makalah berjudul, "Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Masyarakat Bali Aga dan Ainu Jepang", sedangkan Retno membawakan makalah berjudul "Wacana Keindahan dan Kehancuran Alam dalam Puisi Indonesia Karya Penyair Bali, 1960—2015". Makalah kedua pembicara diambil dari penelitian disertasi mereka.
Memikat Peserta
Topik kearifan lokal dalam cerita rakyat dan puisi lingkungan ternyata cukup mampu menarik perhatian peserta. Selain jumlah peserta yang hadir cukup banyak dari biasanya, sekitar 50-an orang, diskusi juga berlangsung hangat.
Peserta dari kalangan mahasiswa, dosen dan umum memberikan respons berupa komentar, pertanyaan, dan saran kepada pembicara.
Suasana seminar seri.Dayu Mita mengungkapkan cerita rakyat dari kedua etnik, Bali Aga dan Ainu Jepang, melukiskan hubungan manusia dengan Tuhan atau dewa-dewa. Selain itu, cerita rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang juga menggambarkan hubungan ideal antara manusia dengan manusia serta pentingnya memupuk kesadaran untuk melestarikan alam.
"Secara sosiologis cerita rakyat tidak saja sebagai pelipur lara, tetapi juga sumber pengetahuan tentang kehidupan sosial manusia, termasuk tentang hubungan dengan Tuhan atau dewa-dewa, mata pencaharian paraleluhur dan peralatan hidup kerja yang dipakai, dan hubungan manusia dengan alam. Ketiga nilai itu mencerminkan falsafah Hindu, Tri Hita Karana," kata Dayu Mita.
Tawarkan Kategori Baru
Dalam penelitiannya, Dayu Mita juga menemukan genre cerita rakyat pada kedua etnik yang tidak terwadahi dalam teori genre cerita rakyat yang selama ini dipakai. Dalam cerita rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang, banyak dikisahkan tentang binatang tetapi cerita-cerita itu tidak bisa dikategorikan sebagai fabel karena fokusnya bukan pada binatang, namun juga tidak cukup kuat disebut mite karena ada tokoh-tokoh manusia di dalamnya.
"Diperlukan kategori baru, yaitu kombinasi antara mite dan fabel menjadi mitabel," saran dosen di Prodi Sastra Jepang FIB Unud ini.
Puisi tentang Lingkungan
Retno yang meneliti puisi-puisi bertema lingkungan karya penyair Bali menemukan pada periode 1960—2015, puisi-puisi penyair Bali menunjukkan tuntutan hak asasi manusia yang menghendaki keindahan alam tetap tercipta di Bali dengan mengutamakan sifat hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan manusia/masyarakat. Namun, puisi-puisi bertema kehancuran alam merupakan cerminan atau kontemplasi dan introspeksi diri sebagai kesadaran bersama untuk mengembalikan alam pada fungsinya semula.
"Puisi-puisi penyair Bali periode 1960—2015 adalah cerminan wajah Bali," tandas peneliti muda di Balai Bahasa Bali ini.
Peserta aktif dalam diskusi.Tanya Jawab
Pembahasan materi dalam diskusi terasa hangat terbukti dari banyak pertanyaan dari peserta. Boy, mahasiswa Prodi Sastra Jepang Unud tertarik dengan perbandingan cerita rakyat Bali Aga dan Ainu Jepang.
"Sejauh mana sifat fleksibel masyarakat Bali Aga dan Ainu Jepang terhadap perubahan dilihat dari cerita rakyat mereka? Ini menarik dicermati," kata Boy.
Sementara Teja yang juga mahasiswa Prodi Sastra Jepang menyoroti relasi harmonis antara manusia dan alam yang tercermin dalam cerita rakyat kedua masyarakat itu.
Sarjana dari Jepang, Yumiko, sempat memberikan komentar dan masukan.Yang menarik, seorang peserta seminar dari Jepang, Yumiko secara jujur mengaku tertarik dengan penelitian Dayu Mita karena selama ini dia tidak banyak mengetahui kebudayaan masyarakat Ainu. Padahal, kata Yumiko, banyak nama tempat di Jepang menggunakan bahasa Ainu.
"Penelitian Bu Dayu Mita membuat saya tergerak untuk mempelajari kebudayaan masyarakat Ainu di Jepang," kata Yumiko.
Banyak Masukan Positif
Dayu Mita dan Retno mengaku senang karena mendapat yang banyak dan berharga untuk penyempurnaan penelitian mereka. Keduanya menyatakan akan mempertimbangkan berbagai masukan itu.
Prof. I Nyoman Darma Putra, M.Litt, yang menjadi promotor kedua kandidat doktor mengaku senang dan bangga karena seminar berlangsung hangat dan kualitas diskusinya juga bagus.
"Pertanyaan dan masukan yang disampaikan berkelas sehingga bermanfaat bagi penyempurnaan disertasi kedua kandidat," kata Prof. Darma Putra.
Berlangsugn hangat dengan banyaknya peserta hadir dan berdiskusi.Apresiasi dari Kaprodi S-3 Linguistik
Ketua Prodi S3 Ilmu Linguistik FIB Unud, Prof. Dr. I Nengah Sudipa, M.A., juga mengungkapkan apresiasi dan rasa senangnya karena Seminar Seri Sastra, Sosial dan Budaya FIB yang menampilkan dua kandidat Doktor Ilmu Linguistik, Konsetrasi Wacana Sastra berlangsung hangat dengan peserta yang cukup banyak. Prof. Sudipa berharap karya siswa lain bisa termotivasi untuk tampil lebih baik.
Prof. Sudipa juga menjelaskan, sesuai keputusan dalam rapat prodi, seminar dwimingguan sebagai syarat untuk mengikuti ujian kelayakan hasil ditingkatkan menjadi Seminar Seri Sastra, Sosial, dan Budaya. Ini memang memberi tantangan kepada karya siswa S3 Ilmu Linguistik, karena peserta yang hadir tidak hanya teman-teman sesama karya siswa, melainkan juga dosen dan masyarakat umum.
"Ini implikasi yang harus kita ambil karena Prodi S3 Ilmu Linguistik mendapat nilai akreditasi A," kata Prof. Sudipa (I Made Sujaya)
UDAYANA UNIVERSITY