Diskusi Buku "Menitip Mayat di Bali": Terus Diciptakan, Bali Takkan Pernah Tidak Ada

[caption id="attachment_1988" align="aligncenter" width="1600"] Gde Aryantha Soethama, penulis buku 'Menitip Mayat di Bali'.[/caption]

Kekaguman atas masa lalu dan kecemasan terhadap masa depan Bali, terutama di kalangan orang Bali, memang selalu mengemuka. Banyak yang khawatir Bali bakal hilang, Bali berubah semakin menjauh dari jati dirinya. Namun, Bali tidak akan pernah tidak ada. Bali terus diciptakan. Bali selalu ada dalam pengertian masing-masing.

Pandangan ini dikemukakan Guru Besar Ilmu Sastra, Fakultas llmu Budaya (FIB), Universitas Udayana (Unud), Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., saat menjadi pembicara dalam diskusi Pustaka Bentara untuk membedah buku kumpulan esai budaya Menitip Mayat di Bali karya Gde Aryantha Soethama di Bentara Budaya Bali, Gianyar, Minggu, 9 April 2017.

Diskusi yang dihadiri para penulis, pengarang, akademisi, mahasiswa serta pegiat seni itu dibingkai dengan tajuk "Ketika Bali Tiada Lagi".

"Banyak orang menciptakan Bali dengan caranya sendiri. Itu pula yang dilakukan Aryantha Soethama dalam buku Menitip Mayat di Bali," kata Darma Putra.

[caption id="attachment_1989" align="aligncenter" width="1000"] Darma Putra (kanan) dan moderator Made Sujaya.[/caption]

Menurut Darma Putra, Bali memang tidak bisa menghindar dari sentuhan perubahan. Tapi, kata Ketua Program Studi Magister Pariwisata ini, Bali memiliki kekuatan penting, yakni selalu mampu berkolaborasi dengan kekuatan luar. Namun, Darma Putra berpandangan, pernyataan "Ketika Bali Tiada Lagi" dapat dibaca sebagai peringatan untuk menjaga Bali dengan cara masing-masing.

Dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, I Ketut Sumadi menyatakan Bali selalu berubah mengikuti zaman. Buku-buku Aryantha Soethama mengajak masyarakat Bali merenungi perubahan yang terus mendera Bali.

Dosen Fakultas Pariwisata Unud, Yohanes Kristianto melihat pernyataan "Ketika Bali Tiada Bali" sebagai utopia. Menurutnya, pernyataan itu merefleksikan perubahan Bali yang justru membuatnya terasing dengan kebudayaannya sendiri. Kenyataannya, yang hadir adalah Bali yang lain.

[caption id="attachment_1991" align="aligncenter" width="1366"] Tanya jawab dan musikalisasi puisi.[/caption]

"Buku-buku Aryantha Soethama menghadirkan kesadaran kognisi dan kesadaran reflektif tentang Bali yang terus berubah," kata Yohanes.

Peserta diskusi lainnya, Iwan mengatakan perubahan yang dialami Bali selalu bergerak dalam kutub positif dan negatif. Menghadapi perubahan itu, ada yang resah, ada juga yang tidak. "Yang jelas, kita siapkan diri menerima masa depan Bali," kata Iwan.

[caption id="attachment_1990" align="aligncenter" width="1600"] Tari Bali yang memukau.[/caption]

"Balipedia"

Darma Putra menyebut buku Menitip Mayat di Bali itu sebagai album budaya Bali. Membaca buku yang berisi 69 esai itu, seperti buku-buku lain karya Aryantha Soethama yang disebut Darma Putra sebagai buku "Seri Oh Bali", seperti melihat album-album foto Bali, yang memberikan keriangan daripada kemurungan, meski di dalamnya tertulis masalah yang tidak ada solusinya.

"Esai dalam buku ini pada akhirnya bisa diterima sebagai ‘Balipedia’, yaitu sumber pengetahuan tentang Bali yang ditulis secara ringkas-ringkas," tandas Darma Putra.

Di ujung diskusi, Aryantha Soethama mengungkapkan tulisan-tulisannya dalam buku Menitip Mayat Bali atau pun buku-buku lainnya sesungguhnya diniatkan untuk mengajak orang Bali bercermin, mematut-matut diri, adakah Bali masih tetap Bali.

Menurut Aryantha Soethama, banyak perubahan menerpa Bali dan hal itu senantiasa memunculkan pertanyaan masihkah Bali kini tetap disebut Bali. Ibu-ibu di Bali kini bangga membeli sesaji, bukan bangga karena membuat sesaji.

[caption id="attachment_1992" align="aligncenter" width="1000"] Suasana beda buku di Bentara.[/caption]

"Saya khawatir, suatu ketika Bali hanya akan disebut Bali karena upacaranya," kata peraih Khatulistiwa Award 2006 ini.

Dia mendorong orang Bali menulis Bali tentang Bali dengan cita rasa Bali. Namun, ajakannya itu bukan berarti orang luar Bali tidak boleh menulis Bali. Menurut Aryantha, tulisan tentang Bali dari dalam akan lebih kuat cita rasa Balinya karena penulisnya melakoni dinamika Bali. (MSU)