Seminar Seri: Banyak Syair Seni Genjek yang Menghibur dan Mengandung Nilai Pendidikan

[caption id="attachment_1749" align="aligncenter" width="602"] Seminar genjek dengan pembicara dari kiri: Dr. Ida Bagus Nyoman Mantra dan IBW Widiasa Keniten dan moderator Dr. Ida Bagus Jelantik (foto Gita)[/caption]

Topik seni pertunjukan genjek yang kerap dicitrakan sebagai seni bernuansa mabuk, dibahas dalam seminar seri sastra, sosial dan budaya Fakultas Ilmu Budaya Unud, Selasa, 31 Januari 2017. Seminar kali ini menghadirkan dua orang narasumber yang sama-sama berasal dari Karangasem.

Pembicara pertama adalah Dr. Ida Bagus Nyoman Mantra, adalah seorang dosen di Universitas Mahasaraswati,yang baru saja memperoleh gelar doktor dengan disertasi tentang seni pertunjukkan genjek.

Selanjutnya pembicara kedua adalah Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten, seorang sastrawan bali sekaligus jg pemerhati pendidikan. Seminar dipandu oleh Dr. Ida Bagus Djelantik,seorang dosen di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya.

Seminar seri sastra yang reguler diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya adalah rangkaian dari usaha FIB untuk membangun ruang-ruang diskusi ilmiah.

Kegiatan seminar ini menjadi salah satu program unggulan FIB untuk semakin meningkatkan kualitas keilmuan civitas akademika di FIB.

[caption id="attachment_1750" align="aligncenter" width="602"] Tanya jawab.[/caption]

Acara seminar berlangsung sejak pukul 09.30 wita hingga pukul 12.00 wita,mengulas seputar seni pertunjukan genjek di Bali. Selama ini seni pertunjukan genjek melekat dengan stigma negatif mabuk minuman keras. Kedua narasumber mencoba membuka cakrawala peserta seputar seni pertunjukan genjek yang sama sekali jauh dari unsur negatif.

Fungsi Teks Genjek Ida Bagus Nyoman Mantra menyatakan bahwa teks Genjek Karangasem memiliki beberapa fungsi di antaranya: fungsi hiburan, fungsi pendidikan, fungsi mengenang masa lalu, fungsi solidaritas, fungsi pengendalian sosial, protes dan kritik sosial, serta fungsi religius.

Dengan adanya fungsi genjek seperti di atas, mengindikasikan betapa bermaknanya Genjek bagi masyarakat khususnya masyarakat Karangasem.

Peserta diskusi sempat menanyakan seputar stigma negatif genjek yang dekat dengan mabuk-mabukan akan berpengaruh pada citra seni pertunjukkan tersebut jika dibawa ke ranah pariwisata.

Ida Bagus Nyoman Mantra menerangkan bahwa sesungguhnya dapat dibedakan antara magenjekan dan mamunyah. Sebab selama ini yang sesungguhnya terjadi adalah kebanyakan orang magenjekan disebelahnya ditemani oleh orang yang mamunyah. Kadangkala orang yang sedang minum-minuman keras tersebut ikut magenjekan.

Dijelaskan lebih jauh bahwa tuak memang tidak bisa dilepaskan dari genjek sebagai sarana pelengkap saja, jadi bukan minum tujuan utamanya, minum tuak adalah sarana penunjang saja, dan menurut kepercayaan sekaa genjek, tuak dapat membantu suara lebih lepas saat magenjekan.

Karena itulah, seni pertunjukkan genjek sangat potensial jika dikemas dalam usaha jasa pariwisata. Beberapa hotel sempat menjadikan genjek sebagai salah satu hiburan bagi tamu, untuk menyiasati tuak diganti dengan soft drink.

Menurut Ida Bagus Nyoman Mantra, jika saja genjek ini mampu dikolaborasikan dengan festival budaya seperti magebug/gebug ende di Seraya, barangkali ini akan menjadi sebuah daya tarik baru bagi wisata di Karangasem.

Genjek dan Pendidikan Karakter

Narasumber kedua Ida Bagus Widiasa Keniten, lebih melihat bahwa genjek selain sebagai media seni hiburan, genjek juga mampu berperan sebagai media untuk menyampikan pendidikan karakter.

Sebab, sifat genjek tidak hanya menghibur, namun genjek mampu membawakan pesan-pesan yang menumbuhsuburkan karakter-karakter mulia. Larik-larik terpilih mengandung makna yang mendalam yang memberikan pencerahan kepada pendengarnya tanpa maksud menggurui. Wahana genjek mampu membawakan nilai-nilai kemanunusian-sosial-budaya.

Hal ini dilihat oleh IBW.Widiasa Keniten melalui beberapa teks tembang genjek yang cukup banyak dibawakan oleh sekaa genjek. Diantaranya adalah teks Genjek Malajah Tutur (Belajar Menasihati Diri) dari desa Jasri, misalnya menulis lirik seperti ini:

suwitran tiang, jalan jani malajah tutur/ idup di gumine mula keweh nindakang raga/ eda esan ngelah keneh iri hati/ paling melah tri kaya parusudhane/ ento anggon sasuluh idup//

(Temanku, ayolah sekarang belajar menasihati diri, hidup di dunia memang susah bertingkah laku, jangan sekali memiliki pikiran iri hati, paling baik Tri Kaya parisudha, itu pakai pererang hidup).

Genjek juga diberdayakan dalam dunia pendidikan. Beberapa sekolah di Karangasem sempat mementaskan genjek dalam kegiatannya di sekolah.

Dunia pendidikan bisa memberdayakan Genjek dalam beberapa even kegiatan sekolah. Hal ini amat berarti bagi kelangsungan dan sebagai sarana penyebaran nilai-nilai pendidikan yang ada dalam Genjek di samping juga sebagai wahana pemertahanan bahasa Bali (Gita).