Seminar Nasional Bahasa dan Budaya II di FIB Unud: Dari Budaya Hoax sampai Nilai Doa Menyambut Ikan Paus
Pembicara utama Prof. Dr. Koeswinarno, M.Hum. dipandu oleh Dr. Ida Bagus Pujaastawa dalam seminar Nasional Bahasa dan Budaya II di FIB Unud, Jumat, 13 Oktober 2017 (Foto-foto Ida Ayu Laksmita Sari).
Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana menyelenggarakan Seminar Nasional Bahasa dan Budaya II dengan tema "Pemertahanan Keberagaman Bahasa dan Budaya sebagai Identitas Nasional, Jumat dan Sabtu 13-14 Oktober 2017 di Kampus FIB Unud.
Tampil sebagai pemakalah kunci adalah Prof. Dr. Koeswinarno, M.Hum (Departemen Agama). Pemakalah undangan adalah Prof. Dr. Ni Nyoman Padmadewi, M.A. (Undiksha), Prof. Dr. I Wayan Ardka, M.A. (Unud), dan Prof. Dr. I Nengah Sudipa, M.A. (Unud).
Seminar yang dibuka oleh Dekan FIB Prof. Dr. Luh Sutjiati Beratha,M.A. diikuti 150 peserta, terdiri dari pemakalah, dosen, dan mahasiswa. Jumlah makalah yang dibahas dalam seminar ini adalah 45 judul, disampaikan pemakalah dari Bali dan dari berbagai kota lain di Indonesia seperti Makassar dan Nusa Tenggara.
Dekan FIB Unud Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha,M.A. saat membuka acara seminar (Foto Widhi)Keragaman Bahasa dan Budaya
Dekan FIB Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A. menyampaikan bahwa seminar Bahasa dan Budaya menawarkan berbagai pandangan untuk memupuk sikap positif terhadap keragaman bahasa dan budaya. Pemahaman atas bahasa yang berbeda-beda, menurut Prof. Sutji, akan menimbulkan sikap apresiatif terhadap budaya yang beragam.
"Pemahaman keragaman bahasa dan budaya akan melahirkan rasa hormat pada bahasa dan budaya lain dan akhirnya sikap toleransi," ujar Prof. Sutji.
Sikap toleransi ini sangat penting dalam perkembangan terakhir bangsa Indonesia yang diterpa isu SARA dan radikalisme.
"Pemahaman bahasa dan budaya sangat besar artinya untuk memupuk sosial harmonis masyarakat dan bangsa kita," ujar Prof. Sutji.
Moderator, Dr. IBG Pujaastawa, pembicara utama Prof. Dr. Koeswinarno, M.Hum, dan ketua panitia Dr.Ni Made Wiasti,M.Hum.Budaya Hoax
Pemakalah kunci Prof. Koeswinarno menyatakan bahwa bangsa Indonesia sedang berhadapan dengan berbagai problem yang membuat pikiran kacau balau dan akhirnya melahirkan hoax.
"Hate spech, hoax, dan rumor muncul karena informasi bersifat abu-abu, tidak ada otoritas sumber informasi yang menjadi kepercayaan publik, pertarungan dua pihak atau lebih," jelas lulusan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan dosen luar biasa di beberapa Universitas di Pulau Jawa ini.
Prof. Koeswinarno juga menyingggung mengenai teori Sapir Whort di mana teorinya menyebutkan bahwa bahasa mempengaruhi pikiran manusia dan karena itu mempengaruhi juga tingkah laku manusia.
"Hoax sedang menjadi kebudayan kita. Orang Indonesia memang memiliki budaya ramah tamah tetapi dalam mindset sudah muncul perubahan budaya, tidak sekedar budaya pop tapi budaya yang ingin merubah tatanan yang ada," jelasnya.
Tantangan Internasional yang sedang dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini antara lain, arus globalisasi terlalu kencang, seolah masa depan datang terlalu cepat, melampaui daya dukung umat.
Dr. I Gusti Ayu Gde Sosiowati dalam sesi tanya jawab."Perubahan yang cepat itu menyebabkan multiple-shocks: theological shock, cultural shock, political shock, economical shock, science dan technological shock," ujar Prof. Koeswinarno.
Pemertahanan Bahasa Bali
Pembicara kedua adalah Prof. Dr. Ni Nyoman Padmadewi membawakan makalah yang berjudul "Pemertahanan Bahasa Bali dalam Perspektif Pendidikan Bahasa: Masalah dan Solusi."
Pemertahanan Bahasa Bali sebagai Bahasa ibu menurut Prof. Padmadewi memegang peranan penting dalam pembangunan budaya daerah. Hasil penelitiannya menunjukkkan bahwa dalam perspektif pendidikan Bahasa Bali ada tiga masalah yang bisa diidentifikasi.
Pertama, teknik pembelajaran Bahasa yang cenderung struktural yang lebih menekankan pada penguasaan struktur Bahasa sehingga bahasa Bali terkesan sulit dan menyebabkan siswa kurang menyukainya.
Dr. I Wayan Redig saat diskusi.Kedua, waktu pembelajaran yang singkat (hanya sekali dalam seminggu).
Ketiga, sikap siswa terhadap Bahasa Bali yang cenderung kurang bangga dibandingkan Bahasa Inggris.
"Solusi yang bisa dipertimbangkan adalah teknik pembelajaran Bahasa Bali dibuat komunikatif dan bermakna, mempromosikan penggunaan Bahasa Bali melalui kebijakan pihak terkait, dan meningkatkan kebanggaan siswa terhadap Bahasa Bali," ujar alumnus doktor Linguistik FIB Unud dan master dari Macquarie University, NSW, Australia.
Peserta seminar.Ideologi Patriarki pada Upacara Tradisional
Pembicara kedua, Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. membawakan makalah berjudul "Masabatan Biu dan penguatan Ideologi Patriarki di Desa Tenganan Dauh Tukad".
Masabatan Biu merupakan salah satu rangkaian upacara Aci Ketiga yang dilaksanakan masyarakat di Desa Tenganan Dauh Tukad.
Prof. Dr. I Wayan Ardika dan Prof. Nyoman PadmadewiHasil penelitian Prof. Ardika menunjukkan bahwa saya, Ketua Sekaa Teruna, mempunyai peranan yang sangat dominan dalam pelaksanaan Aci Ketiga. Seorang saya bertugas merencanakan, melaksanakan, dan bertanggung jawab terhadap kesuksesan upacara tersebut.
"Pelaksanaan upacara Aci Ketiga dapat dipandang sebagai pelatihan bagi sekaa teruna dan sekaligus sebagai pelestarian serta penguatan ideologi patriarki di desa Tenganan Dauh Tukad," ujar arkeolog tamatan Australian National University, Australia.
Doa Menyambut Ikan Paus
Pembicara ketiga, Prof. Dr. I Nengah Sudipa menyajikan makalah yang berjudul "Doa Menyambut Ikan Paus di Pantai Lamalera: Kajian Metabahasa."
Prof. Dr. Nengah Sudipa (kanan) dan pemandu Dr. Ida Bagus Jelantik SutanegaraDoa yang diteliti oleh Prof. Sudipa adalah doa yang selalu dikumandangkan menjelang penyambutan berlabuhnya koteklema ‘ikan paus’.
Fakta dan hasil telaah menunjukkan bahwa seorang lamafa seharusnya memiliki hari bersih, bertutur kata sopan, dan berperilaku santun. Modal kemuliaan seperti selalu melekat pada seseorang lamafa sehingga bisa menunaikan tugas dengan baik.
"Doa yang dikumandangkan dengan untaian kata Bahasa lokal mengandung makna yang berhubungan dengan filosofi kehidupan penduduk setempat, seperti semangat kebersamaan, kesabaran, dan kesetiaan akan pesan leluhur," ujar Prof. Sudipa, Ketua Prodi S-3 Linguistik FIB Unud.
Apresiasi untuk pembicara dan moderator, dari kiri: Prof. Ardika, Prof. Sudipa, Prof. Padmadewi, Dr. Made Wiasti, dan Dr. IB Jelantik Sutanegara.Sesi pertama seminar dipandu oleh Dr. Ida Bagus Pujaastawa, sedangkan sesi kedua dipandu oleh Dr. Ida Bagus Jelantik Sutanegara, keduanya dosen FIB Unud. (Ida Ayu Laksmita Sari).
UDAYANA UNIVERSITY