Seminar Seri Bahas Dimensi Ideologi Penggunaan Bahasa di Debat Capres, Hukum Adat, dan Bahan Ajar

Para pembicara, dari kiri ke kanan: Irma Setiawan, Endah Nur Tjendani, Ida Ayu Laksmita Sari (moderator), dan Robert Masreng (Foto-foto I Made Sujaya).

Penggunaan bahasa dalam berbagai bidang kehidupan tidak pernah bebas nilai, namun senantiasa dilandasi oleh kepentingan atau ideologi tertentu. Begitu pula penggunaan bahasa dalam ranah politik dan hukum adat. Ideologi juga bisa diselipkan dalam penggunaan bahasa pada ranah pendidikan melalui pembelajaran bahasa.

Pandangan ini mengemuka dalam Seminar Seri Sastra dan budaya yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Udayana (Unud), di ruang Dr. Ir. Soekarno Kampus Nias, Denpasar, Senin, 18 September 2017.

Seminar seri yang dipandu Ida Ayu Laksmita Sari,S.Hum., M.Hum. diikuti sekitar 30 orang, kalangan mahasiswa dan dosen FIB.

Tiga Kandidat Doktor

Seminar menghadirkan tiga kandidat doktor dari Program Studi S3 Ilmu Linguistik, FIB Unud. Irma Setiawan membawakan makalah berjudul "Teks Debat Calon Presiden Republik Indonesia Periode 2014—2019: Kajian Linguistik Fungsional Sistemik", Endah Nur Tjendani dengan makalah berjudul, "Model Pendekatan Ekolinguistik Pada Penyatuan Bahan Ajar dan Penilaian Unjuk Kerja (Performance Assessment) Pada Pembelajaran Bahasa Inggris di SMP" serta Robert Masreng mempresentasikan makalah berjudul, "Teks Hukum Adat Larvul Ngabal Guyub Tutur Bahasa Kel: Kajian Semiotika Sosial".

Peserta seminar aktif dalam tanya jawab.

Bahasa Debat Capres

Irma Setiawan yang meneliti praktik berbahasa para calon presiden (capres) dalam debat capres periode 2014—2019. Menurut Irma, beragam konten kebahasaan para capres yang bersifat persuasive dan eufemisme, justru memunculkan sikap fanatisme berlebihan pada masyarakat. "Masyarakat menjadi terkotak-kotak dalam massa atau koalisi pro dan kontra terhadap kedua capres," kata karyasiswa angkatan 2015 ini.

Dengan menggunakan teori Linguistik Fungsional Sistemik dengan pendekatan deskriptif kualitatif, Irma menemukan adanya sejumlah perbedaan antara praktik berbahasa capres Prabowo Subianto dan Joko Widodo.

Di antara sejumlah temuan empiris, salah satu temuannya yang menarik, yakni sistem modalitas debat politik kedua capres. Prabowo Subianto memiliki skema pertukaran pengalaman linguistik meliputi pernyataan bernilai probabilitas ‘barangkali’, keseringan ‘biasa’, keharusan ‘wajib’, dan kecenderungan ‘mau’. Sedangkan Joko Widodo memiliki skema pertukaran pengalaman linguistik meliputi pernyataan bernilai probabilitas ‘kemungkinan’, keseringan ‘selalu’, keharusan ‘diharapkan’, kecenderungan ‘mau’.

Penggunaan teori Linguistik Fungsional Sistemtik ditanggapi sejumlah peserta. I Gede Astawa (mahasiswa S3 Ilmu Linguistik) mengatakan, jika merujuk pada buku aslinya, terminologi yang digunakan semestinya Linguistik Sistemik Fungsional atau dipertahankan dalam bahasa Inggris-nya, Systemic Functional Linguistics. Pandangan Astawa didukung peserta lain, termasuk guru besar Ilmu Linguistik FIB Unud, Prof. Dr. Drs. IB Putra Yadnya, M.A.

Peserta Seminar Seri.

Semiotika Teks Hukum Adat

Robert Masreng meneliti fenomena tanda-tanda verbal dan nonverbal dalam hukum adat Larvul Ngabal dengan tujuan mendapatkan gambaran penggunaan bahasa untuk merumuskan nilai-nilai moral dan etika yang dinormatifkan agar mengatur pola perilaku masyarakat pendukung kebudayaan Kei.

Robert menemukan teks hukum adat memiliki fungsi transformasi nilai, perlindungan, pemulihan, pengakuan, penyelesaian, dan edukasi. "Sedangkan eksistensinya dalam guyub tutur bahasa Kei masih diketahui dengan baik oleh pemimpin adat, masyarakat masih mempercayakan sebagai lembaga yang berwibawa, dan masih berperan untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam masyarakat guyub tutur bahasa Kei," kata Robert.

Pendekatan Ekolinguistik Bahan Ajar

Endah Nur Tjendani menawarkan model pendekatan ekolinguistik pada penyatuan bahan ajar dan penilaian kerja pada pembelajaran bahasa Inggris di SMP. Pendekatan ekolinguistik menekankan kepada saling keterkaitan hubugan antarkomponen pembelajaran pada satu kesatuan yang utuh untuk mewujudkan lingkungan kelas yang alami dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar.

Namun, guru besar Linguistik FIB Unud, Prof. Dr. IB Putra Yadnya, M.A. yang hadir sebagai peserta seminar mengkritik penggunaan terminologi pendekatan ekolinguistik dalam pembelajaran.

"Ekolinguistik itu teori tersendiri dalam kajian linguistik. Kalau dalam pembelajaran bahasa, mungkin maksudnya pendekatan ecolearning," kata Putra Yadnya.

Guru Besar Ilmu Sastra FIB Unud, Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., mengingatkan para kandidat doktor berada pada level 9 sesuai dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Karena itu, disertasi harus mampu mengeksplorasi masalah penelitian secara lebih dalam dan tajam.

"Ketiga pembicara, secara umum, merumuskan pertanyaan penelitiannya dengan kata tanya ‘bagaimana’. Itu nilainya lebih rendah karena masih di permukaan. Mestinya, kalau sudah bergelut dengan data, masalah penelitian dirumuskan menjadi ‘mengapa’," saran Darma Putra, sekalilgus koordinator Seminar Seri Sastra dan Budaya FIB Unud sejak 2003.

Ketua Prodi Magister Pariwisata Unud ini juga menilai penelitian ketiga kandidat doktor masih berorientasi teoretikal. Menurut Darma Putra, penelitian akan menjadi lebih menarik dan segar jika berorientasi pada hasil atau temuan.

Seminar berlangsugn lancar dan diskusi berjalan hangat. Hal ini ditandai dengan banyak pertanyaan dari peserta.

Dari berbagai pertanyaan dan tanggapan, pembicara pun menanggapi sesuai topik dan merasakan mendapat masukan untuk memperkuat disertasi dalam ujian-ujian berikutnya (Sujaya/Dp)