FIB Unud Gelar FIB DigiTalk 2025 ke-2 Membahas Digital Scholarship dan Digital Humanities dalam Penelitian Linguistik
Pada Kamis, 27 Februari 2025, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana kembali menggelar FIB DigiTalk 2025. Acara berlangsung secara Hybrid, offline di Ruang Ir. Soekarno, FIB Unud dan online melalui Zoom Meeting serta disiarkan langsung pada kanal Youtube Media FIB. FIB DigiTalk 2025 kali ini mengusung topik “Languaging in the Age of Digital Humanities: Examples from the Enggano Language Research”. Kegiatan ini merupakan kolaborasi antara FIB Unud dengan Centre for Interdisciplinary Research on the Humanities and Social Sciences (CIRHSS) yang bertujuan untuk mengenalkan serta mengembangkan Digital Humanities di FIB Unud.
Kegiatan dibuka secara resmi dengan sambutan dari Dekan FIB Unud, I Nyoman Aryawibawa, S.S., M.A., Ph.D. Dalam sambutannya, beliau mengungkapkan latar belakang diadakannya kegiatan FIB DigiTalk 2025. Beliau membagikan pengalamannya saat melakukan studi tiru ke Universitas Brawijaya, yang telah lebih dulu mengembangkan Digital Humanities melalui digitalisasi motif batik Jawa Tengah. Berdasarkan hasil diskusi dengan Gede Primahadi Wijaya Rajeg, Ph.D., FIB Unud memutuskan untuk mengembangkan Digital Humanities di lingkungan kampus. Dekan FIB Unud menjelaskan bahwa pada semester genap ini, FIB DigiTalk 2025 akan menghadirkan tujuh pembicara yang telah menghasilkan kontribusi di bidang Digital Humanities, termasuk Adrian Vickers pada FIB DigiTalk sebelumnya.
Memasuki agenda utama, dengan dipandu oleh Putu Wahyu Widiatmika, S.S., M.Hum. sebagai moderator, FIB DigiTalk menghadirkan Gede Primahadi Wijaya Rajeg, Ph.D. sebagai pembicara utama. Beliau merupakan staf pengajar di Program Studi Sastra Inggris serta Program Studi Linguistik Program Magister dan Doktor di FIB Unud. Dengan latar belakang akademik di bidang linguistik dari Monash University dan pengalaman penelitian postdoctoral di University of Oxford, beliau memiliki keahlian dalam dokumentasi bahasa serta pengembangan data leksikal, khususnya dalam penelitian bahasa Enggano.
Dalam pemaparannya, Gede Primahadi membahas konsep Digital Scholarship dan Digital Humanities serta bagaimana dua konsep tersebut dapat diterapkan dalam penelitian bahasa. Digital Scholarship, menurutnya, adalah penelitian akademik yang memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses riset. Digital Humanities, di sisi lain, adalah bidang yang menggabungkan ilmu humaniora dengan teknologi komputasi, menciptakan pendekatan baru dalam studi sejarah, sastra, seni, budaya, maupun bahasa. Dalam hal ini, penerapan metode komputasi seperti coding dan perangkat lunak berbasis data sangat penting untuk memperkaya analisis humaniora.
Gede Primahadi Wijaya Rajeg, Ph.D. juga menjelaskan pilar utama dalam Digital Humanities yang mencakup Materials, Processing, dan Presentation. Materials merujuk pada sumber data yang dapat berupa teks, gambar, atau rekaman suara. Processing melibatkan penggunaan teknologi digital untuk menganalisis dan mengolah data tersebut, sedangkan Presentation berkaitan dengan bagaimana data yang telah diproses disajikan secara daring atau dalam bentuk publikasi lainnya. Metode ini memungkinkan kajian bahasa dan budaya menjadi lebih terstruktur dan terdokumentasi dengan baik.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bagaimana Digital Humanities dapat menghubungkan studi bahasa dengan teknologi komputasional. Proyek yang tengah beliau kerjakan, seperti Enggano Diachronic Lexical Database (EnoLEX) dan Contemporary Enggano Dictionary, bertujuan untuk mendokumentasikan perubahan bahasa Enggano dari masa ke masa dengan memanfaatkan teknologi digital. Salah satu teknik utama dalam proyeknya adalah penggunaan Optical Character Recognition (OCR) untuk mengkonversi teks fisik ke dalam format digital yang lebih mudah diakses. Langkah selanjutnya adalah proses datafication, yaitu menambahkan metadata yang relevan untuk memahami perubahan bahasa Enggano dari waktu ke waktu.
Sesi diskusi berlangsung interaktif dengan berbagai pertanyaan dari peserta, mulai dari metode penentuan akar kata dalam bahasa Enggano, hingga bagaimana bahasa tersebut dikategorikan dalam rumpun Austronesia. Salah satu pertanyaan mengangkat masalah overlapping dalam analisis semantik digital, mempertanyakan bagaimana metode kuantifikasi dapat diterapkan dalam studi digital humanities untuk mengatasi fenomena tersebut. Gede Primahadi menjelaskan bahwa dalam analisis semantik digital, overlapping terjadi karena ada beberapa konsep yang memiliki kemiripan makna. Dalam Pycon Cepticon, misalnya, terdapat nilai kemiripan antara kata-kata yang serupa. Namun, pada akhirnya, keputusan untuk memilih bentuk yang paling sesuai tetap berada di tangan peneliti. Meskipun kuantifikasi dapat membantu, ada batasan dalam bagaimana sistem otomatis dapat menentukan interpretasi yang paling akurat.
Pertanyaan menarik lainnya datang dari Dekan FIB yang menanyakan kemungkinan membangun database penelitian berbasis Digital Humanities di FIB Unud. Menanggapi hal ini, Dr. Gede menyatakan bahwa meskipun membangun database sendiri bisa menjadi tantangan dari segi kapasitas penyimpanan, solusi alternatifnya adalah membuat platform berbasis web yang dapat menampung hasil penelitian dalam format digital dengan dukungan penyimpanan eksternal. Acara kemudian diakhiri dengan penyerahan sertifikat kepada pembicara dan moderator, serta sesi foto bersama dengan seluruh peserta (sakura).
UDAYANA UNIVERSITY