Dosen Institut Desain dan Bisnis Bali (IDB Bali) Raih Gelar Doktor Kajian Budaya di FIB Unud



Program Studi Doktor (S3) Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Udayana selenggarakan Promosi Doktor dengan promovendus Ramanda Dimas Surya Dinata, Jumat, 13 Mei 2022 secara hybrid di ruang Dr. Ir. Soekarno, Gedung Poerbatjaraka, FIB Unud.


Promovendus adalah dosen Institut Desain dan Bisnis Bali (IDB Bali) Denpasar. Ujian terbuka dipimpin oleh Dekan FIB Unud, Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.


Dalam ujian terbuka, Ramanda berhasil mempertahankan disertasi dengan judul “Hiperealitas Foto Prewedding di Bali”. Setelah melalui tahapan ujian terbuka, Ramanda dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan merupakan Doktor ke- 163 di FIB Unud dan Doktor ke- 261 di Prodi Doktor (S3) Kajian Budaya.


Tim penguji terdiri atas Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., Prof. Dr. A.A. Anom Kumbara, M.A., Dr. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A., Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U.    , Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., Dr. I Nyoman Wardi, M.Si., Dr. Drs. A.A. Gede Oka Wisnumurti, M.Si., Dr. Ida Ayu Laksmita Sari, S.Hum., M.Hum.


Rekaman ujian promosi doktor bisa diikuti di kanal Youtube https://www.youtube.com/watch?v=mZlc1wWa5Tc


Hiperealitas Foto Prewedding di Bali

Dalam presentasinya, Ramanda menyampaikan bahwa adat pernikahan masyarakat Hindu di Bali merupakan tradisi lokal atau kultur lokal. Sebelumnya tidak dikenal istilah foto prewedding, tetapi belakangan mulai disisipkan dan diproduksi melalui wacana dan praktik-praktik yang bersifat materialisme.

Pemaparan disertasi oleh promovendus, Ramanda Dimas Surya Dinata


Foto prewedding merupakan sub-bidaya (sub-culture), budaya baru yang terjadi karena berbagai faktor termasuk globalisasi. Hal itu merupakan bentuk artikulasi dari budaya modern atau postmodern. Artinya, fenomena tersebut sudah melampaui sebuah realitas yang disebut post realitas (permainan simbolik).


Menurut Ramanda, karya fotografi merupakan salah satu pembentuk identitas dalam bentuk citra visual. Hasil karya fotografi hanya merupakan salah satu citra visual yang diproduksi sebagai wujud pembiakan tanda dari dunia realitas yang dapat memengaruhi relasi sosial dan bentuk-bentuk sosialitas.



Menurut Ramanda, hadirnya unsur hiperealitas dalam foto prewedding di Bali disebabkan oleh empat faktor: (a) faktor gaya hidup, Artinya, kebutuhan tersebut hanya berupa pengemasan tanda yang bersifat mengikuti zaman; (b) faktor industri komersial, berbagai seduksi-seduksi iklan dalam media sosial merupakan cara para pelaku usaha jasa foto prewedding bertahan dan menjaga eksistensi fenomena foto prewedding; (c) faktor globalisasi, fenomena foto prewedding sebagai produk global menawarkan berbagai keefisiensian dan kemudahan bagi pasangan pengantin untuk melakukan berbagai hal dalam pengemasan tanda dan informasi; (d) negosiasi antara fotografer dan klien, tentu memiliki pengaruh yang besar. Salah satu di antaranya adalah dalam pemilihan konsep-konsep foto prewedding.


Temuan Penelitian

Dalam disertasinya, Ramanda merumuskan tiga temuan. Pertama, foto prewedding menciptakan fenomena bergesernya hiper ke realitas kebudayaan Bali. Sebelumnya hiperealitas menjadi realitas karena hal tersebut dilakukan oleh semua orang dan menjadi sesuatu yang biasa, padahal pada awalnya ditentang oleh sebagian pihak. Hal ini menunjukan bahwa kebudayaan itu bukan sesuatu yang stabil tetapi dinamis dan selalu berubah.

Kedua, terjadi perubahan dalam identifikasi struktur kebudayaan. Artinya, kebudayaan Bali dalam konteks perayaan resepsi pernikahan sedikit demi sedikit telah berubah (tidak sama dengan masa lalu). Apa yang terjadi merupakan bentuk desakralisasi yang diakibatkan oleh reproduksi wacana-wacana simbolik.


Dilihat dari sudut pandang tradisi foto prewedding merupakan sesuatu yang tidak penting namun penting dalam artikulasi identitas. Artinya, masyarakat Hindu di Bali tidak lagi membeli sebuah produk tetapi membeli sebuah simbol. Simbol memberi mereka kesempatan untuk menunjukan sebuah identitas diri.


Ketiga, perkembangan foto prewedding setelah dua puluh lima tahun sangat mengalami kemajuan. Secara estetika tentu saja menjadi lebih baik dan lebih beragam secara konseptual.


Foto prewedding tidak hanya berkonsep pada gaya budaya klasik namun telah berkembang ke dalam budaya post atau budaya posmo dalam bentuk kontemporerisasi gaya. Tren konsep foto prewedding berubah sesuai selera pasar, artinya selera masyarakat terhadap konsep-konsep foto prewedding dikendalikan oleh industri jasa foto prewedding, dan media-media pendukungnya.


Makna Disertasi

Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt. selaku promotor menyampaikan bahwa disertasi Ramanda merupakan hasil penelitian yang menarik. Menurut Prof. Darma Putra, foto prewedding yang sekilas terlihat sederhana ternyata menarik karena kompleksitas praktik dan pemaknaan atasnya.


Prof. Dr. I Nyoman Darmaputra, M.Litt. selaku promotor menyampaikan makna disertasi


Dalam praktik foto prewedding terjadi proses negosiasi antara klien dan fotografer hingga ke bentuk-bentuk hiperealitas dalam pemilihan gaya dan level editing yang membuat foto-foto prewedding kadang melampaui realitas.


“Bentuk-bentuk hiperealitas dalam foto prewedding di Bali mampu dikonsepsikan dengan baik oleh Ramanda. Bentuk hiperealitasnya dimulai dari rekayasa visual, fabrikasi budaya, aksentuasi cinta, identitas hybrid, bahkan parodi dan reinterpretasi gaya,” ujarnya.


Di akhir penyampaiannya, Prof. Darma Putra yang juga Korprodi S3 Kajian Budaya yang baru, menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. I Wayan Ardika, Dr. Ida Bagus Puja Astawa, dosen penguji, serta para dosen pengajar yang telah membimbing dan memberikan materi perkuliahan sehingga promovendus bisa menyelesaikan studi dengan baik.


Prof. Darma Putra juga menyampaikan selamat kepada Ramanda beserta keluarga dan berharap semoga ilmu serta gelar yang didapat dapat berguna di masyarakat. (as)