Dosen Program Studi Sastra Indonesia FIB Unud Berpartisipasi dalam Kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat bertajuk "Festival Fronteira 2023" di Timor Leste
Keterangan Foto: Festival Fronteira atau Festival Tapal Batas berlangsung di Distrik Maliana Timor Leste (15 - 19 November 2023). Salah satu gambar yang memperlihatkan bahwa Timor Leste dan Timor bagian barat (Indonesia) memiliki akar kebudayaan yang sama. Rekonsiliasi yang berpijak pada akar kebudayaan yang sama diyakini lebih mudah membuka ruang-ruang perdamaian untuk: tinggalkan konflik demi kemajuan pembangunan manusia (foto: Maria Matildis Banda).
Kementerian Pemuda, Olahraga, Seni, dan Budaya, Sekretariat Negara Urusan Seni dan Budaya, dan Direktur Eksekutif Centro Nacionale Chegal! I. P., Republika Demokratik Timor-Leste, menyelenggarakan “Seminar Fronteira 2023 atau Festival Tapal Batas 2023”. Festival Fronteira diselenggarakan di Distrik Maliana Timor Leste, 15 - 19 November 2023. Kesadaran pemerintah Republika Demokratik Timor-Leste untuk meninggalkan konflik dan mengutamakan pembangunan menjadi salah satu alasan berlangsungnya kegiatan ini. Tujuan utamanya adalah menghasilkan suatu pengertian bersama yaitu gagasan tentang estetika tertentu di bidang seni dan sastra yang dapat menjadi acuan dalam mengolah sejarah dan ingatan masa lalu sebagai sebuah katarsis di tengah masyarakat paska konflik.
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana ikut berpartisipasi dalam Festival Fronteira tersebut dengan topik khusus: Sastra dan Rekonsiliasi. Materi disampaikan oleh Dr. Dra. Maria Matildis Banda, M.S Materi disampaikan oleh Dr. Dra. Maria Matildis Banda, M.S, yang merupakan dosen program studi Sastra Indonesia FIB Unud. Partisipasi Dr. Maria dalam kegiatan ini berdasarkan surat undangan dari pemerintahan Timor Leste dan Surat Tugas dari Dekan FIB UNUD. Topik ini disajikan sebagai salah satu bentuk pengabdian FIB UNUD kepada masyarakat Timor Leste, khususnya peserta Festival Fronteira. Subtopik artikel ini memaparkan suatu panorama umum tentang apa dan bagaimana karya sastra dapat menjadi sarana rekonsiliasi di tengah masyarakat paska konflik.
Sastra dan Rekonsiliasi
Kata “rekonsiliasi” digunakan untuk menjelaskan hubungan antara dua pihak yang bertikai karena suatu alasan. Rekonsiliasi berkaitan dengan relasi atau hubungan dalam keluarga kecil maupun keluarga besar dalam arti luas karena mengalami konflik serius menyangkut kehidupan bersama. Ada ruang yang disiapkan dan direncanakan dengan baik agar konflik terurai dan hubungan keluarga menjadi lebih baik. Hal ini sering kali terjadi berkali-kali karena hubungan kesepakatan untuk perdamaian belum tercapai; belum sanggup mengembalikan situasi kondisi hubungan sebagaimana sebelum terjadi konflik.
Sastra dan rekonsiliasi berkaitan dengan peran karya sastra sebagai media rekonsiliasi. Sesuai dengan fungsi karya sastra: 1) fungsi refleksi dan pendidikan moral. Melalui karya sastra pembaca memiliki kesempatan untuk refleksi dan memperoleh pengetahuan tentang moral dan nilai-nilai hidup; 2) fungsi religius. Karya sastra mengandung unsur-unsur keagamaan yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman atau arah hidup; 3) fungsi hiburan dan keindahan. Karya sastra memberi hiburan dan keindahan kepada pembacanya; 4) fungsi dokumentatif. Karya sastra mendokumentasikan berbagai peristiwa bahagia maupun mengenaskan dalam hidup; dan 5) fungsi hirtoris dan kebudayaan. Karya sastra menjadi salah satu media perekam sejarah dan kebudayaan. Fungsi kelima berkaitan dengan rekonsiliasi; dimana peserta festival diajak untuk berdiskusi, membuka pikiran bersama, tentang peran sastra bagi masyarakat pembaca.
Ada berbagai fakta historis yang menjelaskan peran sastra (relasi teks sastra) dengan berbagai problem dan konflik di tengah masyarakat. Apalagi jika sumber konflik berkaitan dengan identitas keluarga, identitas komunal, serta identitas masyarakat yang berhadapan dengan perbedaan pilihan dan perbedaan kepentingan.
Peserta festival diajak untuk membangun pengertian bersama bahwa rekonsiliasi akan mudah dilaksanakan jika kedua belah pihak saling percaya satu terhadap yang lain, sehingga proses penerimaan kembali dapat berlangsung dengan baik. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah kedua belah pihak mesti sanggup mengendalikan diri dengan tenang, sabar, menjadi pendengar yang baik untuk saling berdiskusi dan saling memaafkan. Rekonsiliasi juga memerlukan tekad dan keberanian untuk menghadapi hari esok yang lebih baik bagi semua pihak.
Surat-Surat dari Dili
Sastra dan Rekonsiliasi yang disampaikan dalam Festival Fronteira tersebut berdasarkan karya sastra karya Maria Matildis Banda: berbentuk puisi surat pertama sampai surat kedua puluh dengan judul “Surat Untuk Mgr. Carlos Ximenes Belo (1999 - 2000); cerpen “Pulang” (1981), “Rebung Gading” (1997), dan “Noelbaki” (1999); serta novel Surat-Surat dari Dili (2005) dan Doben (2000). Tiga di antaranya dibahas secara singkat dalam festival tersebut: novel Surat-Surat dari Dili dan Doben,serta cerpen “Noelbaki”.
Surat-Surat dari Dili (280 halaman) ditulis dengan latar waktu, tempat, dan peristiwa berawal dari peristiwa Santa Cruz. Novel ini merupakan media yang baik dalam membahas rekonsiliasi karena sikap tokoh-tokoh yang “terlibat” dengan peristiwa yang dijadikan latar cerita; serta bagaimana tokoh-tokoh menyikapinya; demi menyelamatkan hubungan keluarga yang “hancur” akibat pilihan politik yang berbeda.
Dalam catatan sejarah diketahui bahwa tahun 1999 itu terjadi eksodus masyarakat secara besar-besaran dari Propinsi Termuda RI itu sampai ke Atambua, TTU, TTS, dan sampai Kupang, bahkan daerah lainnya. Banyak warga yang menetap di terminal Noelbaki Kupang, salah satu tempat tinggal sementara warga Timor Timur. Latar ini melahirkan cerpen “Noelbaki”. Cerpen ini merupakan salah satu media rekonsiliasi yang melonggarkan pikiran dan hati untuk mengambil sikap berpihak pada penderitaan sesama yang eksodus dari tanah leluhurnya demi situasi politik yang mereka sendiri tidak mengerti benar. Karya sastra mencatat bahwa meja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meja Jakarta, Australia, dan negara-negara yang ikut ambil bagian dalam problem politik di Timor Timur pada waktu itu adalah meja yang tinggi dan sangat jauh dari realitas pahitnya pengalaman keluarga-keluarga yang terpisah satu sama lain, eksodus tanpa mengerti, serta menjadi warga yang tinggalkan rumah tanpa mengerti benar apa yang akan terjadi.
Selanjutnya novel Doben (70 halaman). Doben adalah novel yang melukiskan hubungan manusia dan kuda yang bernama Doben; hubungan antara anak dan ibunya, hubungan kakak adik bersaudara kandung yang hancur lebur karena pilihan politik berbeda.
Beberapa contoh karya sastra tersebut menjelaskan bagaimana karya sastra sebagai cermin masyarakatnya; cermin sejarah dan kebudayaan. Dengan sifat karya sastra yang universal, Surat-Surat dari Dili, Doben, dan “Noelbaki” tidak hanya menjelaskan persoalan Timor Leste tetapi persoalan humanisme universal; dari belahan dunia dimana saja yang berperang akibat masalah pilihan politik dan ideologi yang berbeda. Sejumlah karya sastra lainnya yang mengungkapkan persoalan humanisme universal (termasuk persoalan humanisme yang terjadi di Timor Timur dan Timor Leste) antara lain Saksi Mata (1994 Seno Gumira Aji Darma), Jazz, Parfum, dan Insiden (1996, Seno Gumira Aji Darma), Vitoria Helena’s Brown Box (2015, Viera dan Soeriapoetra), dan Orang-Orang Oetimu (2019, Felix K. Nesi).
Penutup: Bercermin pada Sejarah Sendiri
Festival Fronteira juga menjelaskan bahwa tentang sastra dan rekonsiliasi akan jauh lebih meyakinkan ketika “penderita” bercermin pada sejarahnya sendiri; juga menulis sendiri apa yang dirasakannya dalam rangka rekonsiliasi. Para sastrawan memiliki kesempatan menatap berbagai persoalan kemanusiaan yang terjadi seputar tahun 1975 sampai dengan 1999 dan seterusnya. Perempuan yang dikemas sebagai tokoh utama dalam cerita adalah sosok yang paling menderita dengan berbagai bentuk kekerasan seksual sebagaimana dialami, Lilia dan perempuan lainnya dalam Surat-Surat dari Dili dan tokoh perempuan lainnya dalam Doben. Mereka adalah sosok yang menjelaskan apa yang terjadi ketika bencana perang dan perebutan kekuasaan datang tanpa ampun. Tidak ada ruang yang cukup bagi mereka untuk bertanya apa sebenarnya yang terjadi? Bahkan kesempatan untuk mengerti pun tidak ada. Mereka hanya menerima akibat yang paling pedih dari perang dan perebutan kekuasaan yang terjadi di hadapan mata. Yang mereka lihat dan rasakan langsung adalah kerusuhan terjadi dan pembunuhan dan penghakiman terjadi di hadapan mata. Mereka berteriak tetapi suara mereka tidak didengar.
Festival Fronteira menggarisbawahi bahwa para sastrawan sekarang ini perlu mengangkat berbagai kenangan sejarah masa lalu melalui karya sastra demi rekonsiliasi yang penting bagi masa depan anak-anak bangsa di dunia. Timor Leste adalah salah satunya. Ciri universal karya sastra terbaca antara lain dalam Surat-Surat dari Dili, Doben, dan “Noelbaki”. Dalam kaitannya dengan sastra dan rekonsiliasi, karya sastra berkaitan dengan makna apa yang ingin disampaikan dan bagaimana makna itu sampai dan menetap dalam pikiran dan kalbu pembacanya. Ada bagian yang sama dari bangsa-bangsa (apapun latar belakangnya) di jagat raya ini: harga diri dan martabat yang mesti dijunjung tinggi bangsa lain. Ada bagian yang sama dari setiap manusia (darimana pun dia berasal): hasrat tentang cinta dan rindu, hasrat menikmati sunyi, sepi, ditinggalkan, dan hasrat untuk berpeluk dan memeluk masa depan cerah bagi sejarah dan kebudayaan yang lebih baik bagi anak-anak penerus generasi. (-m)
UDAYANA UNIVERSITY