FIB DigiTalk 2025 ke-5: Revitalisasi Lontar dengan Terobosan Teknologi Modern

Pada hari Jumat, 9 Mei 2025, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana (FIB Unud) berhasil menyelenggarakan kembali FIB DigiTalk yang mengusung topik "Connecting Tradition and Technology Strategies Steps for the Future of Lontar". Acara ini digelar secara daring melalui Zoom Meeting dan disiarkan secara langsung via kanal YouTube Media FIB. Rangkaian acara dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Perencanaan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. I Gede Oeinada, S.S., M.Hum., yang memberikan sambutan sekaligus menegaskan relevansi topik digitalisasi dalam pelestarian lontar, sebuah warisan budaya yang menghadapi tantangan besar di era teknologi saat ini. 


Moderator, Putu Ari Suprapta Pratama, S.S., M.Hum., memperkenalkan pembicara dalam sesi ini, yaitu Dewa Ayu Carma Citrawati, S.S., M.Hum., yang merupakan dosen Sastra Bali di FIB Unud, yang sedang melanjutkan pendidikannya di Hamburg University, Jerman. Beliau merupakan salah satu peneliti di Centre for the Study of Manuscript Cultures dengan fokus pada lontar dan metadata. Carma Citrawati juga dikenal sebagai sastrawan yang aktif dalam pengembangan bahasa dan aksara Bali serta penerima penghargaan dari Wikimedia Foundation sebagai Wikimedian of the Year dan The Newcomer of the Year pada tahun 2021


Beliau mengawali pemaparannya dengan menjelaskan tentang akar gerakan pelestarian lontar yang berasal dari rumah adat seperti puri dan griya di Bali. Melalui perspektif humaniora digital, beliau menjelaskan pentingnya perpaduan antara ilmu humaniora dan teknologi komputer dalam melestarikan warisan budaya ini. Berbagai tantangan dihadapi, mulai dari keterbatasan akses dan pengetahuan, kerusakan fisik lontar, hingga menurutnya, minat baca generasi muda, dan minimnya platform digital yang mendukung pelestarian lontar. 


Lebih lanjut, upaya pelestarian aksara Bali yang turut mendukung keberlangsungan lontar juga menjadi sorotan. Inisiatif seperti pembentukan komunitas di Festival Bahasa Bali, penerapan kurikulum wajib bahasa Bali di sekolah yang memuat aksara Latin dan Bali, pengembangan keyboard aksara Bali, serta regulasi daerah dan gubernur yang melindungi aksara ini, menyiratkan komitmen kuat dalam menjaga kebudayaan lokal agar tetap eksis dan dikenal secara internasional. Sejak 2014, beliau bersama komunitas aktif melaksanakan berbagai program untuk melestarikan lontar serta menyebarkan pengetahuan yang terkandung di dalamnya kepada generasi muda. 


Dalam menghadapi keterbatasan akses, kerusakan fisik, dan penurunan pembaca lontar, serangkaian langkah strategis diambil, seperti digitalisasi lontar untuk menjaga keawetan fisik dan keberlanjutan pengetahuan yang terkandung di dalamnya. Proses digitalisasi tidak berhenti pada penyimpanan digital semata, namun juga melibatkan pengalihaksaraan lontar dari aksara Bali ke aksara Latin dan penerjemahan ke dalam berbagai bahasa agar informasi ini dapat diakses oleh khalayak yang lebih luas. Keterlibatan masyarakat lokal dan generasi muda menjadi kunci sukses pelestarian ini, disertai pengembangan standar metadata supaya data dari lontar dapat dimanfaatkan dengan mudah di berbagai platform digital. 


Salah satu pencapaian penting yang diperoleh adalah keberhasilan pembangunan Wikipedia berbahasa Bali sejak 2019, yang kini memiliki sekitar 29.000 artikel, berperan sebagai sumber utama pengembangan data dan budaya Bali. Pada tahun 2021, beliau mengajukan proposal ke Wikimedia Foundation untuk mendanai proyek WikiLontar yang berfokus pada pemanfaatan Wikisource dan Wikidata dalam merekam dan mencatat metadata sebagai bagian awal dalam proses penyelamatan lontar di masyarakat. Proyek ini berhasil merekam sekitar 600-an lontar dari enam lokasi di Bali, termasuk Singaraja, Gianyar, dan Klungkung, dengan fokus pada perekaman metadata dan digitalisasi bagian depan dan belakang lontar. 


Pada akhir pemaparannya, beliau menekankan pentingnya metadata sebagai informasi yang terkandung dalam manuskrip yang dapat diidentifikasi dan dijabarkan. Metadata sangat bermanfaat untuk mengelola manuskrip. Dengan merekam metadata, dapat dibuat pemetaan lontar-lontar, serta menyimpan informasi-informasi dari lontar di platform seperti Wikidata. Dalam sesi tanya jawab, peserta memberikan saran dan pertanyaan terkait standar metadata, pedoman penggolongan teks berdasarkan genre dan judul, serta bagaimana mengatasi ambiguitas dalam penamaan lontar. Menanggapi hal tersebut, beliau menjelaskan bahwa akan dilakukan pengklasifikasian terlebih dahulu, lalu kemudian dibuat pedoman kepada masyarakat dan peneliti. 


Acara diakhiri dengan penyerahan sertifikat serta sesi foto bersama. Sebagai sebuah rangkaian kegiatan yang rutin dilaksanakan tiap bulan, FIB DigiTalk tidak hanya menghadirkan semangat baru dalam pelestarian budaya berbasis teknologi melainkan juga membuka sudut pandang baru bahwa digitalisasi bukan hanya alat teknis, tetapi dapat pula menjadi jembatan antara kebijaksanaan masa lalu dengan kebutuhan generasi masa depan. Hal ini selaras dengan upaya FIB untuk terus berkomitmen sebagai motor penggerak pelestarian budaya lokal, melalui pendekatan inovatif dan partisipatif. Oleh karena itu, dengan terlaksananya acara ini, diharapkan lebih banyak generasi muda, komunitas digital, dan peneliti tergerak untuk terlibat dalam proyek-proyek pelestarian budaya yang berkelanjutan, adaptif, dan inklusif (PW, FA, DAP).