Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia Gelar Pekan Sastra Bertema “Sastra Indonesia, Mau Jadi Apa?”

Seminar Nasional Pekan Sastra Melalui Zoom Meeting, moderator kanan dan pembicara Dr. Maria Matildi Banda, M.S. (kanan).


Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Udayana menggelar Seminar Nasional Pekan Sastra dilaksanakan pada Sabtu, 23 April 2022 secara daring melalui Zoom Meeting.


Kegiatan yang mengusung tema “Sastra Indonesia, Mau Jadi Apa?” ini dibuka Koordinator Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Dr. I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, S.S., M.Hum.


Seminar diikuti oleh delapan puluh peserta, terdiri dari mahasiswa dan dosen. Mereka tidak saja berasal dari Unud tetapi juga luar Unud dan bahkan dari luar Bali, seperti UIN Raden Mas Said Surakarta, Universitas Indraprasta PGRI, dan SMAN 1 Tanggerang.

Menyambut Baik

Dalam sambutan pembukaan, Koordinator Program Studi Sastra Indonesia Dr. I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, S.S., M.Hum., menyambut baik dan menyampaikan selamat atas pelaksanaan Webinar Nasional dengan topik “Sastra Indonesia Mau Jadi Apa?”


“Topik pekerjaan pasca-studi Sastra Indonesia menarik untuk didiskusikan oleh mahasiswa Sastra Indonesia, alumni, stakeholder, dan para pengajar di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya umumnya, dan program studi Sastra Indonesia khususnya. Apakah ilmu yang selama ini diterima mahasiswa sudah mencukupi?” ujarnya.


Korprodi juga menyampaikan  berbagai pertanyaan seputar itu, seperti: adakah kelemahan yang dihadapi prodi Sastra Indonesia? Bagaimana cara mengatasi rasa pesimis yang kerap melanda mahasiswa Sastra Indonesia? dan masih banyak lagi pertanyaan yang mungkin timbul dari diskusi dalam webinar ini.


Di lain sisi, menjadi bagian dari Program Studi Sastra Indonesia FIB Unud adalah suatu kebanggaan. Program studi Sasindo hadir untuk menjawab tantangan kebutuhan akan tenaga terampil di bidang bahasa, sastra, dan budaya. Dengan menguasai berbagai teori dan praktik di bidang linguistik dan sastra sebagaimana digambarkan di dalam kurikulum maka akan dihasilkan lulusan dapat bersaing secara global.


Hal ini selaras dengan visi Fakultas Ilmu Budaya dan Universitas Udayana, yakni “sebagai pusat pengembangan ilmu-ilmu humaniora, serta mampu melahirkan lulusan yang cakap, profesional, dan memiliki kompetensi tinggi untuk bersaing di era global, tetapi tidak tercabut dari akar budaya Bali.”


Di akhir sambutan, Korprodi memberikan kata-kata mutiara pada peserta yang menghadiri acara Webinar Nasional ini, yakni Semoga Cahaya Baru yang Menyinari Emas.



Tiga Pembicara

Seminar berlangsung selama empat jam, menampilkan tiga pembicara yaitu Dr. Dra. Maria Matildis Banda, M.S., dosen Prodi Sastra Indonesia, yang membawakan materi berjudul “Kuliah di Prodi Sastra Indonesia Mau Jadi Apa?”.  
Dr. I Made Sujaya, S.S., M.Hum., dosen di Universitas PGRI Mahadewa Indonesia ini membawakan materi yang tak kalah menarik, yaitu “Sastra Indonesia: (Merdeka) Mau Jadi Apa (Saja)”.


Kedung Darma Romansha, aktor atau sastrawan, membawakan materi berjudul “Pascarealitas, Market Plan Sastra Indonesia.”  


Sebagai pemandu seminar adalah Sahfitri Br Sembiring, mahasiswa aktif Prodi Sastra Indonesia.


Maria Maltidis Banda menyelesaikan pendidikan Doktor di bidang Kajian Budaya pada tahun 2015. Selain menjadi dosen, beliau juga merupakan  seorang penulis. Sudah banyak karya yang beliau keluarkan, antara lain: “Liontin Sakura Patah”, “Pada Taman Bahagia”,” Surat-surat Dari Dili”,  dan  masih banyak lagi.


Catatan prestasi beliau juga tidak kalah banyaknya seperti, meraih penghargaan dalam penulisan karya sastra cerpen “Pulang”, “Dalam Bening Mata Mama”, “Perempuan Kecintaanku”, dan “Rebung Gading”. Penghargaan untuk cerita bersambung Majalah Femina Jakarta, yaitu “Pada Taman Bahagia” sebagai juara ketiga, “Liontin Sakura Patah” sebagai juara ketiga, dan “Doben” sebagai juara pertama.


Ahli Bahasa


Menurut Dr. Maria Matildis Banda sarjana sastra Indonesia dapat menjadi ahli bahasa, pengajar Bahasa Indonesia untuk orang Indonesia ataupun orang asing, peneliti di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia, jurnalis dan penulis naskah, redaktur penerbit dan berbagai media massa, penulis buku umum, biografi, dan bentuk tulisan kreatif lainnya. Di sela penyampaian materi, Dr Maria memberikan sebuah kutipan “Masa depan ada di tangan Anda. Jangan bertanya apa yang Prodi Sastra Indonesia berikan padaku, tetapi tanyalah apa yang sudah aku berikan kepada Prodi Sastra Indonesia.”


Penyajian Materi kedua oleh Dr. I Made Sujaya, S.S., M.Hum.

Menjadi Apa Saja


Dr. I Made Sujaya, S.S., M.Hum. menjelaskan tentang Sastra Indonesia di Indonesia yang sepi peminat, bukan pilihan utama, sulit mendapatkan pekerjaan bergengsi, tak menjajanjikan masa depan cerah, belajar sesuatu yang sia-sia, khayalan, dan tidak berkaitan dengan dunia nyata. Beliau menuliskan dalam materinya, para pelajar Sastra Indonesia mesti memerdekakan diri menjadi manusia-manusia merdeka yang bebas dari belenggu stigma “Sastra Indonesia: Mau Jadi Apa?”  


Sebaliknya, menurut Dr. Sujaya, mahasiswa harus mampu membalik cara pandang: “Sastra Indonesia: Mau Jadi Apa Saja Bisa!” Di tengah gemuruh gegap gempita era digital, ketika berlaku adagium “content is king” keterampilan berbahasa; menyimak, berbicara, membaca, menulis yang merupakan kompetensi utama lulusan Sastra Indonesia menjadi soft skill yang sangat dibutuhkan. Ilmu bahasa dan sastra terus berkembang, peluang bagi lulusan sastra Indonesia juga tak pernah hilang.


Pemaparan Materi Ketiga oleh Kedung Darma Romansha

Sastra dan Perubahan


Kedung Darma Romansha, menjelaskan tentang panggung Sastra Indonesia pascarealitas bisa dikatakan sebagai penanda lahirnya generasi baru Sastra Indonesia. Faktor utama Sastra Indonesia mengalami perubahan secara masif karena perubahan sangat mendasar dalam sistem pemerintahan, era baru munculnya generasi tekno-visual.


Kehidupan pers yang terkesan serba bebas-serba boleh juga ikut mendorong terjadinya perkembangan itu. Dunia baru sastra Indonesia ditandai dengan masuknya era digital, Sastra Indonesia sebagai produk budaya mengalami pergeseran di berbagai lini, terutama dalam wacana produk dan dunia kapital.


Munculnya media sosial, toko buku online, menjamurnya penerbitan indie adalah tanda bahwa dunia telah berevolusi dalam bentuknya yang mini dan praktis.


Jadi apa?


Beliau mengatakan dalam materinya “Jika saja ke depannya lahir lembaga-lembaga khusus yang konsern terhadap penerjemahan (Bahasa Indonesia ke bahasa asing), niscaya kendala ini dapat diatasi secara bertahap. Selain itu lembaga-lembaga tersebut juga bisa mengakomodir sekaligus menjembatani penerbit Indonesia untuk bekerja sama dengan penerbit manca. Dengan begitu pasar sastra (Indonesia) akan berubah.”


Antusias delapan puluh orang peserta Seminar Nasional Pekan Sastra ini, diharapkan mampu menjaga eksistensi Bahasa Indonesia nantinya.


Akhir acara ditandai dengan pemberian sertifikat kepada ketiga pembicara luar biasa yang menjadi narasumber dalam kegiatan Seminar Nasional Pekan Sastra 2022 ini (Mayun/dp)