Kaji Marginalisasi Layanan Bimbingan Konseling, Suastini Raih Gelar Doktor di Prodi Kajian Budaya


 

 

Program Doktor (S3) Kajiian Budaya kembali menggelar ujian terbuka pada hari Rabo, 12 Agustus 2020 dengan promovenda Dra. Ni Wayan Suastini, M.Pd Ujian dilakukan secara daring dan disiarkan secara langsung pada akun Youtube FIB Unud.

 

 

Ujian terbuka dipimpin langsung oleh Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum. Ni Wayan Suastini berhasil mempertahankan disertasinya dengan judul “ Marginalisasi Layanan Bimbingan Konseling pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Kabupaten Badung”, dan dinyatakan lulus dengan predikat ‘Sangat Memuaskan’. Ni Wayan Suastini menjadi doktor ke-100 di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya serta merupakan Doktor ke-232 di Prodi Doktor (S3) Kajian Budaya.

 

 

Guru Bimbingan Konseling

 

Guru Bimbingan Konseling (BK) adalah guru yang memberikan bantuan kepada siswa agar siswa mampu menghadapi masalah yang sedang dihadapi, dan bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Sebenarnya, layanan bimbingan konseling perlu diselenggarakan di sekolah agar pribadi dan potensi yang dimiliki siswa dapat berkembang secara optimal.

 

Faktanya, banyak sekolah yang tidak memfungsikan guru bimbingan konseling (BK) secara maksimal sesuai dengan tugas pokoknya. Biasanya guru lain, seperti: guru agama, guru pancasila, guru wali kelas, dan lainnya yang memberikan layanan bimbingan konseling kepada siswa. Realita di lapangan menunjukkan bahwa peran guru-guru tersebut dalam pelaksanaan bimbingan konseling belum dapat dilakukan secara optimal.

 

Guru bimbingan konseling memiliki kemampuan dalam pelaksanaan bimbingan konseling dengan baik untuk para peserta didik. Indikatornya dilihat dalam melakukan tugas keseharian, guru bimbingan konseling dalam pelaksanaannya menunjukkan sikap yang baik, memiliki kesabaran dalam menghadapi peserta didiknya. Gurunya memberikan arahan dan membimbing dalam layanan bimbingan dan konseling untuk mengatasi masalah masalah peserta didik. 

 

Kondisi ini menunjukkan bahwa keberadaan guru Bimbingan Konseling belum mendapatkan perhatian yang serius. Banyaknya guru yang tidak memiliki kompetensi sebagai konselor namun mengambil peran sebagai guru BK membuat stigma negatif cenderung melekat pada guru BK.

 

Hal tersebut terjadi karena masih terdapat kesalahan persepsi terhadap fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah oleh warga sekolah, termasuk oleh pemegang kebijakan dalam hal ini kepala sekolah serta masih ada petugas bimbingan dan konseling yang memiliki latar belakang ilmu yang berbeda.

 

Kondisi ini mempengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan karena guru yang menjadi guru BK tidak memiliki keilmuan bidang bimbingan dan konseling. Pelayanan kepada siswa cenderung belum menggunakan azas dan prinsip pelayanan bimbingan dan konseling yang baik.

 

Implikasi dari marginalisasi layanan bimbingan dan konseling pada SMA Negeri di Kabupaten Badung adalah, prestasi siswa hanya ditentukan oleh guru mata pelajaran. Guru bimbingan dan konseling hanya berperan terhadap siswa yang melanggar disiplin sehingga siswa tidak mendapatkan bimbingan secara khusus untuk meningkatkan prestasinya.

 

Implikasi yang lain bahwa sikap dan prilaku siswa banyak yang menyimpang, karena kegiatan prefentife dari guru bimbingan konseling dalam kelas kurang dilaksanakan secara maksimal.

 

Adanya persepsi Kepala Sekolah bahwa layanan bimbingan dan konseling pada SMA Negeri di Kabupaten Badung merupakan mata pelajaran atau layanan bimbingan konseling dianggap kurang penting karena tidak termasuk mata pelajaran ujian nasional.

 

Ada persepsi bahwa menjadi guru bimbingan konseling tidak harus memiliki kompetensi sebagai konselor. Dengan demikian, siapa saja bisa memberikan layanan bimbingan dan konseling.


 


Makna Disertasi

 

Makna disertasi disampaikan oleh Promotor Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A., dalam sambutannya Prof. Ardika menyampaikan selamat atas capaian Dr. Dra. Ni Wayan Suastini, M.Pd.

 

Prof. Ardika menyampaikan bahwa disertasi ini cukup memberikan gambaran kepada kita tentang bagaimana wajah pendidikan saat ini. Terjadi kekerasan simbolik pada guru dan mata pelajaran Bimbingan Konseling pada pendidikan tingkat atas.

 

Marginalisasi pada guru dan mata pelajaran Bimbingan Konseling terjadi hanya karena mata pelajaran tersebut bukan merupakan mata pelajaran yang diujiankan secara nasional. Sungguh sebuah ironi sebetulnya di tengah gembar gembornya kita menggelorakan pendidikan karakter sejak dini.

 

“Disertasi ini dapat menjadi rujukan penting untuk kita bersama jika hendak memperbaiki birokrasi pendidikan kita,” ungkap Prof. Ardika. (gita)