MAHASISWA PRODI SASTRA BALI FIB UNUD MELAKUKAN PENGABDIAN “NGAYAH MAGEGITAN” DI PURA PENGASTAN BELAYU, MARGA, TABANAN

Mahasiswa Berpoto bersama dengan  Ketua Pamaksan Pura Pengastan dan Panglingsir Puri Belayu.


Mahasiswa Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana melakukan pengabdian berupa ngayah magegitan ‘menyanyikan karya sastra sebagai pengiring yadnya’ di Pura Pengastan, Belayu, Marga, Tabanan, Jumat, tanggal 3 Januari 2020.


Mahasiswa yang ikut dalam acara tersebut adalah mahasiswa Prodi Sastra Bali dari berbagai angkatan mulai dari mahasiswa baru angkatan 2019, 2018, dan 2017.


UKM Satyam Siwam Sundaram sedang  mageguntangan.


Acara ngayah yang dilakukan oleh mahasiswa Sastra Bali itu bertepatan dengan upacara Ngenteg Linggih, Pedudusan Agung, Mupuk Pedagingan, dan Tawur Balik Sumpah di Pura Pengastan yang akan dilaksanakan sampai hari Jumat 7 Februari 2020.

Dalam acara ngayah tersebut, mahasiswa Sastra Bali secara khusus menyanyikan sebuah karya sastra yang berjudul Kidung Yadnyeng Ukir karya kawi-wiku Ida Padanda Ngurah, yang juga berasal dari Gria Gede Belayu, Marga, Tabanan.


Ni Putu Asri Ranaswari sedang  bernyanyi dan Santika menerjemahkan.

 

Karya-Karya Ida Padanda Ngurah

Pengarang yang memakai nama samaran Wipra Nguraha itu merupakan purohita Kerajaan Belayu yang dikenal luas sebagai pengarang sejumlah karya sastra.

Karya-karya sastra karangan beliau di antaranya adalah Geguritan Bhuwana Winasa yang menarasikan sejarah keruntuhan kerajaan-kerajaan di Bali akibat perpecahan internal dan serangan Belanda;


Ni Nyoman Miantari sedang bernyanyi  dan Ni Putu Ayu Suaningsih menerjemahkan.


Kakawin Gunung Kawi yang mengisahkan perjalanan beliau dalam melakukan persembahyangan di Gunung Kawi Tampaksiring;


Kakawin Gwara Gong yang menceritakan perjalanan Ida Padanda Ngurah bertirta yatra ke Pura Gua Gong, Bukit, Jimbaran;


Geguritan Yadnyeng Ukir yang menarasikan perjalanan beliau ketika melaksanakan dharma kependetaan dalam upacara yadnya di berbagai gunung di Bali, dan karya-karya yang lainnya.



Hema Sabela sedang bernyayi dan  Putu Eka Guna Yasa menerjemahkan.



Produktivitas beliau dalam menulis karya sastra Jawa Kuno dan Bali menyebabkan peneliti IBM Dharma Palguna (tahun 1998) menjuluki beliau sebagai Ida Padanda Ngurah Pengarang Besar Bali Abad ke-19, yang sekaligus menjadi judul buku Palguna (almarhum).


Para mahasiswa Sastra Bali dan UKM  Satyam, Siwam, Sundaram, dalam persiapan ngayah.


 

Apresiasi itu diberikan tidak saja karena jumlah karya yang dihasilkan Ida Padanda Ngurah, tetapi mutu karya sastra berspirit sejarah yang telah ditulis beliau.

 

Yoga Sastra


Ida Padanda Ngurah yang berasrama di Gria Gede Belayu tersebut diyakini oleh masyarakat Belayu melakukan aktivitas yoga sastra di Pura Pengastan Belayu. Keyakinan itu dikuatkan oleh keberadaan pohon lontar yang sampai saat ini masih hidup di samping Pura Pengastan. Induk pohon lontar itulah yang kemungkinan besar digunakan oleh Ida Padanda Ngurah sebagai media untuk menyalin dan menulis karya-karyanya di masa lampau.


UKM Satyam Siwam Sundaram sedang  mengiringi gegitan.


Tidak hanya itu, lokasi Pura Pengastan yang sangat dekat dengan mata air dan sungai besar Belayu menjadi ruang ekologis yang sangat tepat bagi beliau untuk menulis karya-karya sastra tentang sejarah, keindahan, dan spiritualitas.


Tautan antara Ida Padanda Ngurah dengan Pura Pengastan itulah yang menyebabkan pemilihan Kidung Yadnyeng Ukir sebagai bahan utama bacaan.

 

Apresiasi dari Manggala Karya


Mahasiswa sastra Bali yang tampil diiringi oleh geguntangan UKM Satyam Siwam Sundaram Fakultas Ilmu Budaya Unud tersebut mendapatkan apresiasi dari panitia penyelenggara upacara.


Ida Bagus Ngurah sebagai ketua pamaksan menyampaikan apresiasi sekaligus ucapan terima kasih karena para mahasiswa telah berkenan membacakan karya Ida Padanda Ngurah dalam momentum upacara besar di Pura Pengastan.


“Semoga ayah-ayah yang dihaturkan oleh para mahasiswa mendapatkan imbalan berupa pengetahuan yang berlimpah oleh Hyang Saraswati sebagai dewinya sastra,” demikian harapan Ida Bagus Ngurah.


Suasana mahasiswa sebelum  mendapatkan giliran bernyanyi.


Koordinator Prodi Sastra Bali, Dr. I Wayan Suardiana, M.Hum., dalam proses-proses latihan senantiasa mengingatkan mahasiswa Prodi Sastra Bali yang tergabung dalam Sekaa Santi Banawa Sekar i agar melatih diri dengan terjun langsung ke lapangan.


“Ngayah magegitan adalah persembahan nada yang nilainya dapat melengkapi persembahan berupa sarana upacara material, terlebih dilaksanakan dengan batin yang penuh dengan kesucian,” tegasnya (Putu Eka Guna Yasa)