Perlu Upaya Perlindungan Pengunjung Objek Wisata Kota Tua dari Covid-19 dalam Bincang Arkeologi via Webinar #2

 


Kekhawatiran sebagian besar masyarakat terhadap beberapa objek wisata khususnya Kota Tua DKI Jakarta sehubungan dibukanya kembali saat atau pasca Pandemi Covid-19 mencuat saat diskusi Binar-Webinar #2 yang diselenggarakan oleh Keluarga Alumni Arkeologi Universitas Udayana (KALA-UNUD) bekerjasama dengan Prodi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya dan Warga Mahasiswa Arkeologi (WARMA) Unud pada Jumat, 29 Mei 2020.


Kegiatan webinar dengan tema Serba-serbi Penelitian dan Pengelolaan Kota Tua menghadirkan dua narasumber yaitu Dr. Irfanuddin Wahid Marzuki, S.S, M.A dari Balai Arkeologi Sulawesi Utara dan Norviadi S. Husodo, S,S., M.Si selaku Kepala Bidang Perlindungan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dengan moderator Eldi Khairul Akbar mahasiswa Arkeologi Unud.

 



Penelitian Kota Tua


Penelitian Kota Tua Gorontalo dan Minahasa dilakukan sebagai upaya pendokumentasian bangunan-bangunan Kolonial yang setiap waktu selalu penghancuran, demikian disampaikan Dr. Irfanuddin dalam pemaparannya tentang Penelitian Arkeologi Perkotaan di Sulawesi Utara. Terdapat perbedaan karakter Kota Gorontalo yang berkembang dari kerajaan dengan Kota Minahasa yang dibangun Kolonial Belanda tanpa ada penguasa sebelumnya. Perbedaan yang kentara terutama adanya bangunan benteng di Gorontalo yang terbangun karena faktor politik sedangkan Minahasa tidak terdapat benteng karena dianggap aman sehingga tidak perlu pengawasan atas penguasa lokal. 


Pun demikian struktur dan pola Kota Gorontalo menyerupai kota-kota Kolonial di Jawa, sedangkan Kota Minahasa memiliki pola berbeda bahwa pusat kota terbentuk oleh keberadaan pasar, pelabuhan atau gereja. Kepedulian terhadap penelitian bangunan Kolonial ini akhirnya juga mengantarkannya meraih gelar Doktoral bidang Arkeologi di Universitas Gadjah Mada tahun 2019.



 

Revitalisasi sudah sejak Zaman Belanda


Banyaknya bangunan-bangunan Kolonial di Kawasan Kota Tua Provinsi DKI Jakarta menjadikannya daya tarik tersendiri bagi wisatawan sehingga upaya pengelolaan perlu dilakukan untuk melindungi dan menjaga bangunan supaya tetap lestari agar dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata. Pelestarian dan revitalisasi Kota Tua ternyata telah dilakukan sejak Pemerintahan Kolonial Belanda pada 1905-1929 untuk membangun kembali kota tahun 1808.


Pekerjaan selama 24 tahun tersebut mampu mencakup kawasan seluas 105 ha. Kemudian revitalisasi juga dilakukan hampir semua periode sejak Sukarno, Ali Sadikin hingga gubernur-gubernur sekarang tetap melakukannya dengan total cakupan 334 ha, demikian pemaparan Norviadi S Husodo.


Perlunya strategi pengembangan untuk wisatawan Kota Tua maka 3A (Attraction, Access, Amenity) merupakan konsep yang ditawarkan. Upaya tersebut mampu menarik wisatawan dan betah untuk berkunjung lebih lama, ditambah lagi dengan pengembangan Pecinan, Pakojan, dan Pelabuhan Sunda. Setiap tempat sangat mendukung untuk berswafoto, maka silakan datang dan kami akan menyambut dengan senang hati. Jika perlu untuk kegiatan mahasiswa arkeologi sangat mendukung, demikian tambah Norviadi.




Kekhawatiran terhadap pengunjung


Yohanes Erik selaku Ketua Gorontalo Heritage menambahkan perlu konsep 3A+ yaitu ditambahkan awareness yaitu kesadaran pengunjung dalam situasi Pandemi Covid-19, perlunya sebuah protokoler kesehatan bagi pengunjung dan ada pergeseran pariwisata saat ini Era New Normal antara lain solo traveling, awareness tour, dan virtual tour.


Hal senada disampaikan oleh Khairil Anwar dari Gresik tentang kesiapan Pengelola Kota Tua Jakarta dengan protokoler tersebut terutama moda angkut yang tidak melibatkan banyak orang.

 

 

Albertus Kriswandono yang banyak menangani Kota Lama Semarang juga membagi pengalamannya dalam pengelolaankota tua. Pengembangan dan pemanfaatan kota lama jadi terjadi pandemi yang memang sebelumnya ke arah wisata, perlu diupayakan menjaga tidak terjadi kecelakaan berwisata.


Pengelolaan harus memiliki sebuah lembaga dan kerjasama antar lembaga dengan skala World Heritage Manager. Banyaknya konflik harus didampingi karena akan merusak cagar budaya, sehingga perlu manager yang memiliki spesial yaitu paham aturan dan archaeology heritage.

 


 

Antusias peserta


Diskusi pada peserta yang hadir dalam webinar sangat menarik baik melalui pertanyaan langsung maupun lewat chatt. Demikian pun saling sapa dan saling memberikan masukan terlihat pada chatt tersebut.

Peserta webinar berasal dari berbagai daerah baik Sumatera, Jakarta, Jogja, Surabaya,Denpasar, Rote, Makasar, Gorontalo, Menado, Papua, dan kota lainnya. Banyak kesamaan bangunan-bangunan yang dipresentasikan dengan beberapa daerah lain salah satunya di Banyuwangi yang sekarang memiliki fungsi yang berbeda tetapi masih utuh dan terjaga, tanggapan dari Bayu Jingga Kelana kepada pemakalah.


Demikian juga penyesuaian atas manajemen pengelolaan kota tua harus secepatnya disiapkan sesuai dengan kebijakan presiden yang sudah disampaikan beberapa hari lalu, tambahan dari Gentry Amalo dari Rote.


Banyak peserta yang merasa mendapatkan manfaat atas acara webinar ini terutama ilmu-ilmu baru tentang penelitian dan pengelolaan kota tua. Harapannya bahwa masing-masing peserta juga memiliki kepedulian dalam memelihara dan melestarikan bangunan-bangunan cagar budaya yang di kota masing-masing (Rochtri Agung Bawono)